Kamis, 11 Desember 2008

Islam Progresif dan Upaya Membumikannya di Indonesia

Islam Progresif dan Upaya Membumikannya di Indonesia 

Oleh: Sahiron Syamsuddin 

Meskipun substansinya tidak jauh berbeda dengan terma-terma lain, seperti “Islam Inklusif”, “Islam Transformatif” dan “Islam Liberal”, istilah “Islam Progresif” (Progressive Islam) merupakan istilah baru dalam kajian Islam kontemporer yang digunakan oleh para akademisi dan aktivis sejak beberapa tahun ini untuk memberikan label kepada pemahaman-pemahaman dan aksi-aksi umat Islam yang memperjuangkan penegakan nilai-nilai humanis, seperti pengembangan civil society, demokrasi, keadilan, kesetaraan jender, pembelaan terhadap kaum tertindas dan pluralisme. Di satu sisi pandangan dan aksi Islam Progresif, menurut Omid Safi, merupakan kelanjutan dan kepanjangan dari gerakan Islam Liberal yang muncul sejak kurang lebih seratus lima puluh tahun yang lalu. Namun, di sisi lain ia muncul sebagai bentuk ungkapan ketidakpuasan terhadap gerakan Islam Liberal yang lebih menekankan pada kitik-kritik internal terhadap pandangan dan prilaku umat Islam yang tidak atau kurang sesuai dengan nilai-nilai humanis. Sementara itu, kiritik terhadap modernitas, kolonialisme dan imprialisme justru tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari gerakan Islam Liberal. (Lihat Omid Safi 2005:1). Kenyataan inilah yang memberikan inspirasi terhadap munculnya pemahaman dan aksi Islam Progresif, yang memberikan perhatian yang seimbang antara kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal terhadap tradisi pemikiran sebagian umat Islam yang tidak menitikberatkan pada aspek-aspek kehidupan humanis memposisikan gerakan Islam Progresif pada gerakan modernis, namun pada waktu yang bersamaan ia juga merupakan gerakan “postmodernis”, karena ia juga bersikap kritis terhadap modernitas yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan sejati dan kemanusiaan. Cara pandang, kritis dan aksi Islam Progresif semuanya hendaknya berorientasi kepada kemajuan. Atas dasar inilah ia disebut dengan istilah ‘progresif’. (Lihat Farish A. Noor 2006: 23). Artikel ini akan membahas secara singkat model-model pemikiran dan gagasan progresif yang dikemukakan oleh pemikir-pemikir Muslim dari beberapa negara, sehingga kita mendapatkan gambaran umum mengenai karakteristiknya. Artikel ini juga akan mencoba mengeksplorasi bagaimana pandangan-pandangan tersebut dapat membumi di Negara Indonesia.



II

Pandangan dan aksi humanis tentunya bukan barang baru di Dunia Islam. Sejarah Islam memberikan informasi yang jelas kepada kita bahwa Islam diturunkan ke bumi pada abad ke-7 M. dengan membawa misi-misi kemanusiaan, seperti perhatiannya terhadap hak-hak kaum wanita, penghapusan praktek perbudakan secara bertahap dan perhatian terhadap kaum lemah. Diwahyukannya Q.S. 4:11 merupakan salah satu contoh bahwa Islam memperhatikan dan menjunjung tinggi hak kaum wanita. Di dalam ayat ini Allah memerintahkan agar anak perempuan seperti halnya anak laki-laki diberi hak menerima harta warisan pada saat bangsa Arab saat itu konon tidak memberi wanita hak warisan sama sekali, bahkan menurut sebagian riwayat wanita justru diwariskan seperti harta benda. Sejarah juga menceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw. memberikan kebebasan kepada kaum Nasrani dan Yahudi di Madinah untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan keagamaan mereka dan hidup bersama secara damai dengan umat Islam pada waktu itu. Konon Umar bin Khaththab melepaskan seorang pencuri tanpa diberi hukuman apapun ketika Umar mengetahui bahwa dia mencuri sesuatu dalam keadaan terpaksa. Sikap Umar dapat dipandang sebagai tindakan humanis progresif. Teori kemaslahatan yang dikembangkan oleh ulama ushul fiqh sebagai salah satu pertimbangan dalam memutuskan suatu hukum dan teori perubahan hukum atas dasar perubahan situasi dan kondisi juga membuka progresivitas hukum Islam. (Lihat misalnya Yudian Wahyudi 2006). Beberapa contoh di atas menunjukkan kepada kita bahwa Islam mengajarkan humanisme. Memang kita mendapati beberapa ayat al-Qur’an dan riwayat hadis yang tampak tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, seperti ayat-ayat tentang perang dan hadis tentang perlakuan yang tidak adil terhadap non-muslim, namun ayat-ayat tersebut terbuka untuk ditafsirkan secara proporsional (tidak hanya dipahami secara kata per kata) dan hadis-hadis semacam itu perlu diteliti kesahihannya dan atau ditafsirkan secara tepat dan mendalam. Hal ini merupakan tema yang memerlukan pembahasan khusus dan penulis tidak bermaksud memaparkannya secara terperinci dalam artikel singkat ini. Satu hal yang ingin ditegaskan di sini adalah bahwa gagasan-gagasan humanis yang marak pada masa sekarang ini bukan semata-mata gagasan impor dari Dunia Barat, melainkan juga merupakan pesan-pesan keagamaan yang juga berakar dalam tradisi Islam itu sendiri.

III

Pemikir-pemikir muslim progresif pada masa kini tersebar di berbagai negara. Di antara mereka yang bisa disebutkan di sini adalah Abdul Karim Soroush (Iran), Shirin Ebadi (Iran), Muhammad Shahrur (Suriah), Muhammad Habash (Suriah), Muhammad al-Talibi (Tunisia/Perancis), dan Fathullah Gülen (Turki/USA). Soroush berusaha membangun demokrasi di Iran yang disebutnya dengan “demokrasi relijius” yang merupakan respons terhadap sistem politik ala velayat-e faqih. Menurutnya, demokrasi merupakan buah dari pemikiran manusia yang didasarkan atas pemahaman-pemahaman rasional yang memuat nilai keadilan dan konsep-konsep hak asasi manusia. Karena itu, nilai-nilai demokratis harus diejawentahkan oleh umat Islam dalam menjalankan pemerintahan. Sistem politik tirani, baginya, bertentangan dengan hakekat dan martabat kemanusiaan. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa demokrasi tidak berarti memisahkan agama dari dunia poltik. Demokrasi justru dapat menjaga eksistensi dan ruang gerak agama. Umat dan lembaga-lembaga keagamaman seharusnya terpanggil untuk terlibat dalam diskursus-diskursus politik, sehingga nilai-nilai relijius dapat mempengaruhi gerak dan langkah manusia dalam berpolitik. Meskipun demikian, pandangan-pandangan keagamaan tidak boleh didikte oleh Negara dan tidak boleh dilaksanakan dengan cara pemaksaan. Nilai-nilai keagaman harus diperjuangkan dan dibawa oleh masyarakat sendiri dalam diskursus-diskursus politik dan sosial. (Roman Seidel 2006: 82-90).

Shirin Ebadi adalah pemikir dan aktivis kemanusiaan yang selalu memperjuangkan hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak kaum wanita dalam berbagai bidang. Perjuangannya ini disemangati oleh pemahaman Islam yang progresif. Dia termasuk orang yang gigih menolak prilaku diskriminatif yang diatasnamakan agama, sebagaimana yang terjadi di negaranya. Pada saat dia menerima nobel perdamaian pada tanggal 10 Desember 2003, dia mengatakan: “Diskriminasi terhadap kaum wanita tidak mempunyai dasar di dalam Alquran.” Diperlakukannya kaum wanita saat ini secara tidak adil di banyak negara Islam tidaklah didasarkan atas ajaran Alquran, melainkan bahwa sampai saat ini penafsiran Alquran didominasi oleh kaum lelaki yang hanya ingin mengambil keuntungan darinya. Dia menegaskan: “Islam tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan penindasan terhadap kaum wanita. Islam mengandung keyakinan akan keadilan dan persamaan.” Ebadi juga mengatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan demokrasi. Pembelaannya terhadap hak-hak asasi manusia mendorongnya untuk selalu bersikap kritis, bukan hanya terhadap kebijakan-kebijakan negara-negara Islam, tetapi juga terhadap prilaku politik dalam dan luar negeri negara-negara Barat. Dia tidak segan-segan menentang kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang dipandangnya menodai nilai-nilai kemanusiaan. (Katajun Amirpur 2006: 190-198).

Perjuangan atas hak-hak asasi manusia dan pemikiran-pemikiran progresif lainnya juga dikemukakan oleh Muhammad Shahrur melalui karya-karyanya. Karyanya Mashru‘ Mithaq al-‘Amal al-Islami (1999) memuat prinsip-prinsip perjuangan umat Islam di masa sekarang ini, yang meliputi kebebasan berkehendak dan bertindak, pluralitas agama dan demokrasi. Semua ini merupakan hasil penafsirannya terhadap ayat-ayat Alquran dengan memperhatikan perkembangan ilmu dan pemikiran manusia kontemporer. (Shahrur 1999). Shahrur juga berusaha secara radikal membebaskan umat Islam dari keterkungkungannya oleh tradisi lama yang menurutnya tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Baginya, umat Islam harus membangun tradisi keagamaan baru dengan cara menafsirkan ulang teks-teks keagamaan, terutama teks-teks yang berkaitan dengan aspek-aspek muamalah.

Muhammad al-Habash, seorang agamawan dan politisi Suriah, memperjuangkan pembumian gagagasan progresif, baik melalui jalur politik di parlemen Syria maupun dengan media tulis. Dia menekankan perlunya pemahaman keislaman yang moderat, sehingga umat Islam bisa memerankan perannya di dunia internasional secara baik. Ide tentang unity of mankind (persatuan manusia) dengan berbagai macam keberagaman dan perbedaannya, gagasan demokrasi yang bernafaskan Islam dan ide anti-kekerasan dikumandangkan oleh direktur Islamic Studies Centre tersebut. Tentang unity of mankind al-Habash mengatakan secara tegas, “Semua manusia itu milik keluarga yang satu, yakni ‘keluarga Tuhan’”. Keyakinan ini mengarah pada pemahaman bahwa persaudaraan dan sikap saling memahami bukan hanya diterapkan antar umat yang seagama, melainkan juga antar umat-umat yang berbeda agama. Hal ini, menurutnya, merupakan syarat terciptanya prilaku demokratis dalam bidang politik khususnya dan prilaku sosial pada umumnya. Atas dasar inilah, dia menolak tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis yang menurutnya hanya satu persen dari jumlah penduduk dunia itu (Lihat al-Habash 2005; Kristin Helberg 2005). Selain itu, dia juga memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Untuk tujuan ini dia dalam bukunya al-Mar’ah bayna al-Shari‘ah wa-l-Hayah menafsirkan ulang ayat-ayat Alquran tentang kepimimpinan, kesetaraan jender, poligami dan warisan. Di dalam buku ini dia juga mencoba mengangkat hadis-hadis Nabi yang menerangkan peran-peran kaum wanita pada masa sahabat dalam berbagai bidang, seperti politik, pendidikan dan ekonomi. Semua ini menunnjukkan bahwa betapa besar Islam pada zaman Nabi memberikan posisi terhormat kepada kaum wanita. (Lihat a-Habash 2001).

Ide tentang unity of mankind juga dikemukakan oleh pemikir Tunisia yang lama hidup di Perancis, yakni Muhammd al-Talibi, dalam bukunya ‘Iyal Allah (Keluarga Allah). Di sini dia menegaskan seharusnya umat Islam, Kristen dan Yahudi (dan juga umat-umat yang lain) bisa hidup berdampingan dan saling membantu dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial, karena mereka pada hakekatnya berada dalam satu keluarga, yakni “keluarga besar Tuhan”. Pandangan ini merupakan reaksi terhadap kenyataan hidup bahwa mereka saling mencurigai, paling tidak hingga saat ini. Jika kita mendapatkan sebagian ajaran Kitab Suci yang tampak bernuansa kekerasan dan bertentangan sikap toleran dan santun, maka, menurutnya, perlu ditafsirkan ulang secara histotis dan antropologis. Dalam hal ini dia mengangkat kembali satu bentuk penafsiran teks yang lebih menekankan pada perlunya memahami pesan-pesan moral dari teks keagaamaan, di luar makna literalnya. Pendekatan ini disebutnya dengan qira’a maqasidiya (pembacaan yang menekankan perhatian pada tujuan-tujuan inti teks). (Al-Talibi 1992; Ronald L. Nettler 2004: 225-239).

Beberapa pemikiran yang disebutkan di atas hanya beberapa contoh pandangan progresif. Meskipun terdapat perbedaan sisi penekanan, pemikiran progresif memiliki kesamaan dalam hal memperjuangkan nilai-nilai humanis, termasuk di dalamnya keadilan, kesamaan, kebebasan yang bertanggungjawab, anti-kekerasan dan perhatian pada realitas kehidupan. Selain itu, pemikir-pemikir progresif sepakat dalam hal perlunya penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan yang tampak bertentangan nilai-nilai humanis tersebut. Untuk membumikan pandangan-pandangan progresif, gerakan Islam Progresif telah dilembagakan dan di-“proklamirkan” untuk pertama kalinya oleh para intelektual dan aktivis Muslim yang hidup di Amerika Utara pada tanggal 15 November 2004 dengan nama Progressive Muslim Union (PMU; Persatuan Muslim Progresif). Mereka yang tergabung dalam organisasi ini memiliki keahlian keilmuan yang beragam. Di Asia Tenggara organisasi semacam ini belum ada, namun mereka yang mempunyai interes yang sama telah saling berkomunikasi lewat diskusi, seminar dan interaksi melalui mailing list.

Di Indonesia pandangan dan aksi humanis dari umat Islam pada dasarnya sudah lama dikemukakan dan diperjuangkan. Penolakan sebagian besar kyai NU, juga tokoh-tokoh Islam dari organisasi-organisasi yang lain, sejak tahun 1945 hingga sekarang untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam merupakan satu bentuk pemahaman keagamaan dan aksi humanis yang mempertimbangkan kenyataan pluralitas agama di Indonesia. Bahkan, jauh sebelum itu, pendekatan inklusif Sunan Kalijaga, seorang wali di Jawa, dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam di Jawa Tengah dan perjuangannya membela rakyat kecil bisa dikatakan sebagai cikal bakal gagasan dan aksi keislaman yang bernuansa humanis dan berorientasi ke depan pada masanya di Indonesia. Pada tahun 70-an dan 80-an gagasan-gagasan progresif dalam arti yang luas juga telah dikemukakan oleh intelektual-intelektual Indonesia, seperti Nurcholis Madjid dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). (Lihat Greg Barton 1999). Pemikiran dan aksi pembelaan terhadap rakyat kecil dan kaum tertindas bahkan hingga saat ini masih tetap dilakukan dan diperjuangkan oleh Gus Dur secara konsisten.

IV

Pada tahun 2004 terdapat diskusi kecil antara Syafi’i Anwar, M. Nur Ichwan dan Zuly Qodir tentang prospek Islam Progresif. Diskusi ini dipublikasikan di Harian Kedaulatan Rakyat. Anwar dalam makalahnya menulis bahwa gagasan-gagasan Islam Progresif lahir di Malaysia. Sebagaimana Farish Noor, seorang intelektual muda berkebangsaan Malaysia, Anwar juga berpendapat bahwa gagasan-gagasan tersebut sampai saat ini belum membumi, dalam arti bahwa hanya populer di kalangan menengah ke atas, tapi belum diserap secara massif oleh masyarakat luas. Meskipun demikian, dia optimis bahwa gagasan-gagasan Islam Progresif suatu saat akan diterima oleh masyarakat banyak, dengan melihat kenyataan bahwa sebagian umat Islam adalah umat yang moderat. (Lihat Anwar, 08 Oktober 2004). Tentang Malaysia sebagai negara kelahiran gerakan Islam Progresif Ichwan tidak sepakat dengan Anwar. Dalam hal ini Ichwan beragumentasi bahwa sebelum berkembang di Malaysia gagasan-gagasan dan aksi-aksi progresif telah muncul di beberapa negara. (Lihat Ichwan, 09 Oktober 2004). Zuly Qodir berpendapat bahwa agar cara pandang progresif ini bisa membumi, agen-agen progresif harus berusaha dan mampu terjun langsung ke masyarakat untuk mengatasi problem-problem riil yang mereka hadapi, sehingga manfaat suatu gagasan dapat dirasakan langsung oleh mereka. Pendapat ini memang baik, tapi tidak mudah diterapkan, karena selama masyarakat belum bisa menerima pandangan-pandangan progresif, maka selama itu pula mereka mungkin tidak berkenan untuk melibatkan agen-agen progresif untuk turut menyelesaikan problem-problem sosial dan keagamaan yang mereka hadapi. Penulis berpendapat bahwa dalam rangka membumikan cara pandang dan aksi progresif paling tidak ada dua hal yang harus dilakukan.

Pertama, menyampaikan dakwah Islam progresif secara efektif. Dalam hal ini, kita harus terlebih dahulu mengenali elemen-elemen sosial yang ada di masyarakat kita sampai saat ini, yakni (1) pemimpin-pemimpin formal, (2) tokoh-tokoh masyarakat nonformal dan (3) anggota masyarakat pada umumnya. Pemimpin-pemimpin formal yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengambil keputusan formal dalam masyarakat, seperti kepala dan staf pemerintahan, kepala dan anggota dewan, dan partai-partai politik. Sementara tokoh-tokoh masyarakat nonformal adalah mereka yang dipandang mempunyai pengaruh di sebuah masyarakat, meskipun mereka tidak mempunyai jabatan pemerintahan ataupun politik tertentu, seperti kyai, ustadz, kepala dukuh, guru dll. Kita tahu bahwa dua elemen tersebut mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam masyarakat. Karena itu, gagasan-gagasan progresif sebaiknya dikomunikasikan kepada kedua elemen tersebut secara serius dan efektif, dengan tujuan bahwa kedua elemen tersebut pada suatu saat dapat membantu menyampaikan gagasan-gagasan tersebut kepada anggota masyarakat pada umumnya. Namun, tentunya hal yang harus dilakukan adalah bagaimana kedua segmen sosial tersebut dapat meyakini kebenaran gagasan-gagasan progresif. Dengan cara ini, gagasan-gagasan progresif akan lebih visible membumi dalam masyarakat. Salah satu contoh klasik yang bisa dikemukakan adalah keberhasilan memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.

Sejak tahun 1945 hingga sekarang mayoritas pemimpin formal dan nonformal dalam masyarakat melihat fakta pluralitas bangsa Indonesia, baik dari segi agama, etnis, bahasa dan lain-lain. Fakta ini dipandang oleh mereka sebagai alasan diterimanya dan dipertahankannya Pancasila sebagai dasar negara untuk tetap memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Sikap inklusif dan toleran kaum Muslim Indonesia dalam hal penetapan dasar negara dengan tidak memaksakan kehendak menetapkan Syariat Islam sebagai dasar negara merupakan sikap progresif yang sudah barang tentu tidak terlepas dari peran para pemimpin dan tokoh umat Islam.

Kedua, menumbuhkan rasa kebersamaan antar sesama pemikir dan aktivis progresif dan antara mereka dan masayarakat secara luas. Rasa kebersamaan (Zugehörigkeitsgefühl), menurut Michael Hampe, merupakan salah satu prasyarat bagi eksistensinya setiap komunitas, termasuk komunitas keagamaan. “Rasa ke-kami-an” (“wir-Gefühl”) merupakan fitrah dan kebutuhan setiap manusia: “Kebutuhan untuk bergabung ke dalam suatu kelompok dengan tujuan mengembangkan suatu identitas kelompok tertentu dalam bentuk ‘rasa ke-kami-an’ dapat diarahkan oleh manusia untuk ‘mengabdikan dirinya’ kepada suatu komunitas keagamaan.” (Hampe 2002: 45). Rasa solidaritas antar agen-agen progresif dalam konteks ini tidak harus direalisasikan dalam bentuk pelembagaan Islam Progresif yang menghimpun seluruh komponen dalam satu wadah tertentu. Sebaliknya, agen-agen progresif bisa saja bertebaran di berbagai organisasi keagaaman yang sudah mapan di Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah, atau di lembaga-lembaga swadaya masyarakat, seperti Fahmina di Cirebon dan Nawesea di Yogyakarta. Secara prinsipil rasa solidaritas tersebut diwujudkan dalam bentuk saling memberikan perangkat-perangkat argumentatif untuk memperkuat pesan-pesan progresif. Namun, rasa solidaritas internal ini tidaklah cukup untuk membumikan gagasan-gagasan progresif ke dalam masyarakat. Atas dasar itu, rasa solidaritas juga harus tercipta antara pemikir dan aktivis progresif dan masyarakat pada umumnya dengan cara turut mengatasi problem ketidakadilan, penindasan, pelecehan dan lain-lain.

Pemikiran Politik Islam Versus Pemikiran Islam Politik

Islam boleh jadi merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik. Antony Black dalam buku ini menjabarkan bahwa pemikiran politik Islam terentang mulai masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara. Black juga mengungkapkan bahwa pemikiran politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran politik Plato, Aristoteles, dan Iran kuno.

Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Bolehlah kita sebut pemikiran para pemikir muslim yang menginginkan pemisahan Islam dan politik sebagai pemikiran politik Islam dan pemikiran yang menghendaki penyatuan Islam dan politik sebagai pemikiran Islam politik. Ketika sejak Revolusi Prancis agama Kristen relatif telah selesai membahas hubungan gereja dan negara–bahwa gereja harus terpisah dari negara—Islam masih berkutat pada persoalan yang satu ini, sejak zaman Nabi hingga zaman kini.

Pada zamannya, Nabi membentuk sebuah komunitas, yang diyakini bukan cuma komunitas agama, tapi juga komunitas politik. Nabi berhasil menyatukan berbagai komunitas kesukuan dalam Islam. Di Madinah, tempat hijrah Nabi, beliau berhasil menyatukan komunitas sosial, yakni kaum pemukim dan kaum pendatang. Lebih dari itu, di Madinah, Nabi juga berhasil mengatur kehidupan kaum muslim , Nasrani, serta Yahudi dalam komunitas “Negara Madinah” atau “masyarakat Madinah”.

Komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah inilah yang belakangan acap dirujuk oleh para pemikir muslim , baik yang liberal maupun yang fundamentalis, sebagai masyarakat Islam ideal. Pemikir liberal lebih suka menyebut komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah sebagai “masyarakat madani”, sedangkan mereka yang fundamentalis lebih nyaman menyebut “Negara Madinah”.

Di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah (661-850 Masehi), pemikiran politik Islam didominasi oleh perdebatan tentang sistem pemerintah atau lebih tepatnya hubungan khalifah dan negara. Kedua dinasti Islam ini cenderung menganut sistem pemerintah atau sistem politik yang tidak memisahkan agama dan negara. Bahkan agama yang direpresentasikan oleh khalifah cenderung mensubordinasi negara atau kehidupan politik di kedua dinasti.

Tapi, sejak kira-kira 850 M, pemikiran dan praktek politik yang dominan di dunia muslim adalah yang memisahkan agama dan negara. Kekuasaan dibagi antara sultan yang mengatur urusan militer serta menegakkan hukum dan ketertiban dan ulama yang mengatur urusan sosial dan keluarga.

Sejak 1000-1200 M, para pemikir muslim, seperti Al- Mawardi , Nizam al-Mulk, Al- Gazali , Ibn Rusyd , serta Al-Razi, menawarkan pemikiran politik jalan tengah atau pemikiran politik keseimbangan. Di masa-masa tersebut, sultan dan ulama saling bekerja sama dan saling tergantung.

Namun, pada 1220-1500 M, ide penyatuan agama dan politik kembali mendominasi pemikiran para pemikir muslim . Pemikir muslim yang paling menonjol pada masa itu, yang menganjurkan pemerintahan berdasarkan syariat, adalah Ibn Taimiyah. Black sendiri dalam buku ini menyebut masa itu sebagai masa “syariat dan pedang”.

Puncak pemerintahan berdasarkan syariat berlangsung pada masa kerajaan-kerajaan modern yang meliputi Dinasti Utsmani , Dinasti Safawi , dan Dinasti Mogul. Tentu saja Dinasti Utsmani , yang berpusat di Turki, menjadi dinasti paling terkemuka. Dinasti ini disebut Khilafah Islamiyah . Namun, dinasti ini mengalami kemunduran dan dibubarkan pada 1924.

Kemunduran ini menandai mulai berpengaruhnya pemikiran politik Barat. Para pemikir yang diidentifikasi sebagai pemikir liberal bermunculan. Mereka antara lain Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh , yang menganut paham pemisahan agama dan politik. Berpijak pada kemajuan Barat, para pemikir muslim ini menawarkan pemikiran modernisme . Black menyebut masa ini sebagai abad modernisme .

Tapi kemajuan Barat dewasa ini memunculkan reaksi di kalangan pemikir Islam fundamentalis. Pemikir Islam fundamentalis paling terkemuka adalah tokoh Ikhwanul Muslim, Al- Maududi , serta Sayyid Qutb . Mereka menginginkan kehidupan masyarakat muslim dewasa ini mencontoh kehidupan di masa Nabi atau setidaknya masa kejayaan dinasti-dinasti di masa awal Islam. Itu berarti mereka menginginkan tidak adanya pemisahan agama dan politik.

Jika kita perhatikan materi pemikiran Islam sejak masa Nabi hingga masa kini seperti disajikan oleh Black dalam buku ini, nyaris tiada yang baru di situ. Tapi, bagaimanapun, pemetaan pemikiran Islam secara kronologis, sebagaimana yang dilakukan oleh Black, sangat membantu kita dalam memahami alur serta dinamika khazanah pemikiran politik dunia Islam. Melalui buku ini pula, kita tahu bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah pertarungan antara pemikiran politik Islam dan pemikiran Islam politik.
Sumber Serambi Online

FILSAFAT PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

FILSAFAT PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH:
Tinjauan Historis dan Praksis
Mohamad Ali dan Marpuji Ali 
Dosen Al Islam & Kemuhammadiyahan UMS
  

PENDAHULUAN
Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana "Robohnya Sekolah Muhammadiyah" untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan mutu sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan Muhammadiyah juga muncul berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam dalam perilaku warga sekolah, belum berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke batas termurah, belum sanggup menciptakan kultur islami yang representatif, telah kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan kelompok penekan. Berbagai kritik tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan kurikulum, peningkatan gaji guru, pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana. Untuk menyahuti dan menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk membongkar akar permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya orientasi filosofi pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern dan islami. Karena adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa atau suatu umat disebabkan tidak terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang mendukungnya tetapi oleh perangkat konsep yang mendasarinya.
Dalam usia Muhammadiyah menjelang satu abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh Muhammadiyah belum mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja hiruk-pikuk pendidikan tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apatah lagi bila dikaitkan dengan upaya mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke depan. Ketiadaan penjabaran filsafat pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama masalah pendidikan di Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis ini ikut bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara “ilmu-ilmu keagamaan” dan “ilmu umum”, yang pada giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang berkepribadian ganda yang tidak menutup kemungkinan justru akan melahirkan "musuh" dalam selimut. Dengan demikian, sudah tinggi waktunya untuk bergegas mencoba menjajagi kemungkinan munculnya satu alternatif rumusan pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan baru pendidikan Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah belum memiliki rumusan filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan seminar nasional filsafat pendidikan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah Pusat, telah mulai menyinggung pembahasan tentang filsafat pendidikan Muhammadiyah, terutama tulisan A. Syafii Maarif yang berjudul "Pendidikan Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis". Sesuai dengan temanya, Maarif hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah (aspek normatif) dan orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur'an yang ditulis oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep pendidikan di dalam Al-Qur'an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-teori pendidikan mutakhir. Karya terakhir yang patut dipertimbangkan adalah buku Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah karya Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis Muhammadiyah. Menurutnya, kemacetan intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Muslim akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah” yang menolak apapun yang bukan berasal dari Islam.
Artikel ini secara hati-hati akan coba mencari alternatif filsafat pendidikan Muhammadiyah dan merumuskannya pada tingkat praksis, ditingkat kurikulum pendidikan. Untuk melangkah ke arah itu, pertama akan ditelusuri problematika perumusan filsafat pendidikan Islam sebagai payung besar pendidikan Muhammadiyah. Kedua, melacak gagasan kunci dan praksis pendidikan Kyai Ahmad Dahlan yang bertitik tolak dari pendidikan integraslistik. Ketiga, menjajagi kemungkinan tauhid sebagai titik tolak perumusan filsafat pendidikan Muhammadiyah, dan kemudian ditutup dengan refleksi.

 LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM 
Filsafat yang dianut dan diyakini oleh Muhammadiyah adalah berdasarkan agama Islam, maka sebagai konsekuensinya logik, Muhammadiyah berusaha dan selanjutnya melandaskan filsafat pendidikan Muhammadiyah atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini dan dianutnya. Filsafat pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi yang akan dimunculkan. Dalam kaitan ini filsafat pendidikan Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari filsafat pendidikan Islam, karena yang dikerjakan oleh Muhammadiyah pada hakikatnya adalah prinsip-prinsip Islam yang menurut Muhammadiyah menjadi dasar pijakan bagi pembentukan manusia Muslim. Oleh karena itu, sebelum mengkaji orientasi filsafat pendidikan Muhammadiyah perlu menelusuri konsep dasar filsafat pendidikan Islam yang digagas oleh para pemikir maupun praktisi pendidikan Islam.
Filsafat pendidikan Islam membincangkan filsafat tentang pendidikan bercorak Islam yang berisi perenungan-perenungan mengenai apa sesungguhnya pendidikan Islam itu dan bagaimana usaha-usaha pendidikan dilaksanakan agar berhasil sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mohd. Labib Al-Najihi, sebagaimana dikutip Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, memahami filsafat pendidikan sebagai aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Suatu filsafat pendidikan yang berdasar Islam tidak lain adalah pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam dan yang orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran tersebut. Dengan perkataan lain, filsafat pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan Islam.  
Al-Syaibany menandaskan bahwa filsafat pendidikan Islam harus mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat sebagai berikut: (1) dalam segala prinsip, kepercayaan dan kandungannya sesuai dengan ruh (spirit) Islam; (2) berkaitan dengan realitas masyarakat dan kebudayaan serta sistem sosial, ekonomi, dan politiknya; (3) bersifat terbuka terhadap segala pengalaman yang baik (hikmah); (4) pembinaannya berdasarkan pengkajian yang mendalam dengan memperhatikan aspek-aspek yang melingkungi; (5) bersifat universal dengan standar keilmuan; (6) selektif, dipilih yang penting dan sesuai dengan ruh agama Islam; (7) bebas dari pertentangan dan persanggahan antara prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasarnya; dan (8) proses percobaan yang sungguh-sungguh terhadap pemikiran pendidikan yang sehat, mendalam dan jelas.
Objek kajian filsafat pendidikan Islam, menurut Abdul Munir Mulkhan, dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material filsafat pendidikan Islam adalah bahan dasar yang dikaji dan dianalisis, sementara obyek formalnya adalah cara pendekatan atau sudut pandang terhadap bahan dasar tersebut. Dengan demikian, obyek material filsafat pendidikan Islam adalah segala hal yang berkaitan dengan usaha manusia secara sadar untuk menciptakan kondisi yang memberi peluang berkembangnya kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian atau akhlak peserta didik melalui pendidikan. Sedangkan obyek formalnya adalah aspek khusus daripada usaha manusia secara sadar yaitu penciptaan kondisi yang memberi peluang pengembangan kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian sehingga peserta didik memiliki kemampuan untuk menjalani dan menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan menempatkan Islam sebagai hudan dan furqan. Sebagaimana dinyatakan Arifin, bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan ilmu yang ekstensinya masih dalam kondisi permulaan perkembangan sebagai disiplin keilmuan pendidikan. Demikian pula sistematikanya, filsafat pendidikan Islam masih dalam proses penataan yang akan menjadi kompas bagi teorisasi pendidikan Islam. Kalau demikian, apabila filsafat pendidikan Muhammadiyah mengacu atau sama dengan filsafat pendidikan Islam sebenarnya masih memunculkan masalah, sebab ia masih rentan dan belum kukuh untuk disebut sebagai sebuah disiplin ilmu baru. Pada titik ini, orientasi filsafat pendidikan Muhammadiyah itu dapat memperkaya dan memperkukuh kedudukan filsafat pendidikan Islam.

 KYAI AHMAD DAHLAN: PERETAS PENDIDIKAN INTEGRALISTIK
Meskipun tema pembaharuan pendidikan Muhammadiyah memperoleh perhatian yang cukup serius dari para pengkaji sejarah pendidikan Indonesia, namun sejauh ini belum ada satu karya pun yang menunjukkan bagaimana sebenarnya model filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Untuk melangkah ke arah itu bisa dilakukan dengan beberapa pendekatan: (1) pendekatan normatif yakni bertitik tolak dari sumber-sumber otoritatif Islam (al-Qur’an dan Sunnah Nabi), terutama tema-tema pendidikan, kemudian dieksplorasi sedemikian rupa sehingga terbangun satu sistem filsafat pendidikan; (2) pendekatan filosofis yang diberangkatkan dari mazhab-mazhab pemikiran filsafat kemudian diturunkan ke dalam wilayah pendidikan; (3) pendekatan formal dengan merujuk pada hasil-hasil keputusan resmi persyarikatan; (4) pendekatan historis-filisofis yaitu dengan cara melacak bagaimana konsep dan praksis pendidikan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kunci dalam Muhammadiyah lalu dianalisis dengan dengan pendekatan filosofis. Corak pendekatan keempat yang dipilih dalam tulisan ini, dengan menampilkan Kyai Dahlan, pendiri Muhammadiyah, sebagai tokoh kuncinya. Benar bahwa dia belum merumuskan landasan filosofis pendidikan tapi sebenarnya ia memiliki minat yang besar terhadap kajian filsafat atau logika sehingga pada tingkat tertentu telah memberikan jalan lempang untuk perumusan satu filsafat pendidikan. 
K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan kyai musti lebih banyak merujuk pada bagaimana ia membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato terakhir Kyai yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Kyai terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat Kyai dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt. 
Pribadi Kyai Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu "model" dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan "titik pusat" dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam. Berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih menaruh perhatian pada persoalan politik dan ekonomi, Kyai Dahlan mengabdikan diri sepenuhnya dalam bidang pendidikan. Titik bidik pada dunia pendidikan pada gilirannya mengantarkannya memasuki jantung persoalan umat yang sebenarnya. Seiring dengan bergulirnya politik etis atau politik asosiasi (sejak tahun 1901), ekspansi sekolah Belanda diproyeksikan sebagai pola baru penjajahan yang dalam jangka panjang diharapkan dapat menggeser lembaga pendidikan Islam semacam pondok pesantren. Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan ini Kyai Dahlan “gelisah”, bekerja keras sekuat tenaga untuk mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan itu. 
Cita-cita pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan. 
Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya Kyai Dahlan akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Kyai menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat yang musti dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala al-Ma’un sebagaimana dipraktekan Kyai Dahlan.  
Anehnya, yang diwarisi oleh warga Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya, bukan cita-cita pendidikan, sehingga tidak aneh apabila ada yang tidak mau menerima inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan dianggap sebagai bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari Kyai Dahlan adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan, bukan bentuk atau hasil ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya. Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak. Menurutnya, sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang terbaik. Dalam semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan. Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah sampai sore hari, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.  

 SEKOLAH SYARIAH: SEBUAH CATATAN KANCAH
Pendidikan Islam yang bercorak integralistik adalah suatu sistem pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara sebegitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam. Meski ide ini telah klasik namun tetap menarik perhatian, sebab merealisasikan ke tataran praksis selalu tidak mudah. Setelah pembaharuan pendidikan berlangsung hampir satu abad dualitas pendidikan Islam (juga Muhammadiyah) masih tampak menonjol. Suatu dualitas budaya muncul di mana-mana di dunia Muslim, suatu dualitas dalam masyarakat yang berasal dari sistem pendidikan ganda; sistem pendidikan Islam tradisional, dan sistem pendidikan sekuler modern melahirkan tokoh-tokoh sekuler. Dengan demikian, proses pencarian sistem pendidikan integralistik harus dilakukan secara terus-menerus sebangun dengan akselerasi perubahan sosial dan temuan-temuan inovatif pendidikan. Di Muhammadiyah, langkah ke arah itu masih terus berlangsung yaitu dengan membangun sekolah-sekolah alternatif atau kemudian dikenal dengan sekolah unggulan. 
Satu dekade terakhir ini virus sekolah unggul benar-benar menjangkiti seluruh warga Muhammadiyah. Lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) berpacu dan berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas pendidikan untuk menuju pada kualifikasi sekolah unggul. Sekarang ini hampir di semua daerah kabupaten atau kota terdapat sekolah unggul Muhammadiyah, terutama untuk tingkat TK dan Sekolah Dasar. Sekolah yang dianggap unggul oleh masyarakat sehingga mereka menyekolahkan anak-anak di situ pada umumnya ada dua tipe; sekolah model konvensional tetapi memiliki mutu akademik yang tinggi, atau sekolah model baru dengan menawarkan metode pembelajaran mutakhir yang lebih interaktif sehingga memiliki daya panggil luas. 
Ada beberapa sisi menarik dari Sekolah Model Baru ini. Pada umumnya dikelola oleh anak-anak muda, memakai sistem full day school (waktu pembelajaran hingga sore hari), memakai metode-metode baru dalam pembelajaran. Hampir semua SD model baru ini justru muncul atau gedungnya itu berasal dari SD Muhammadiyah yang sudah mati, tapi dengan manajemen dan sistem pendidikan baru dapat tumbuh menjadi sekolah unggul, misal; di Jakarta ada SD Muhammadiyah 8 Plus yang berada di Duren Sawit, Sekolah Kreatif SD Muhammadiyah 16 Surabaya, SD Muhammadiyah Alternatif di Magelang, SD Muhammadiyah Condong Catur di Yogyakarta, termasuk SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta.
Perjumpaan penulis dengan mereka (kepala-kepala sekolahnya) menunjukkan bahwa inovasi-inovasi pendidikan yang dikembangkan, meskipun sudah cukup signifikan belum menyentuh pada persoalan krusial, yakni mencoba merumuskan bagaimana filsafat dan kurikulum pendidikan alternatif. Ahmad Solikhin, Kepala SD Muhammadiyah Condong Catur, sudah merasakan urgensinya namun belum menjadi kesadaran bersama sehingga belum ada upaya-upaya serius untuk merumuskan satu sistem pendidikan alternatif yang islami. Ikhtiar untuk coba merumukan satu sistem pendidikan alternatif mulai tumbuh di SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta di bawah bimbingan langsung seorang pakar pendidikan khusus, Prof. Sholeh YAI, Ph.D. Adalah menarik untuk mengikuti dari dekat proses-proses yang sedang berlangsung di dalamnya. 
Untuk meraih kembali kegemilangan Islam, menurut Prof. Sholeh, sudah tinggi waktunya untuk segara menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan sistem, atau Tafsir Sistem. Pada instansi pendidikan ada satu konsep kunci yang musti dirumuskan, yakni ide fitrah berupa tauhid. Dengan demikian, orientasi filsafat dan kurikulum pendidikan bertitik tolak dari konsep Tauhid. Bagaimana tauhid mendasari pendidikan di SD Muhammadiyah Program Khusus, mari kita ikuti penjelasan berikut:
Berseberangan dengan pandangan hidup (paradigma pendidikan) kaum sekuler yang menempatkan material-duniawiyah sebagai tujuan utama. Paradigma pendidikan Islam justru mengaksentuasikan nilai-nilai tauhid sebagai tujuan yang paling prinsipil dan substansial. SD Muhammadiyah Program Khusus menjadikan tauhid sebagai landasan pokok kurikulum yang secara kongkrit terejawantahkan dalam seluruh proses pembelajaran. Kurikulum yang ada dimodifikasi, dirancang, dan didesain sedemikian rupa sehingga nilai-nilai tauhid menjiwai dan mempola seluruh mata pelajaran; pembelajaran matematika, sains, bahasa dan materi lain diorientasikan untuk mengungkit kembali potensi tauhid (baca fitrah), menumbuhkembangkan, dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Secara kasat mata adalah mudah untuk mengatakan bahwa seluruh lembaga pendidikan Islam, apalagi sekolah Muhammadiyah, sudah otomotis berdasarkan tauhid. Bukankah di sekolah tersebut diajarkan materi agama yang relatif banyak? Kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Ketiadaan orientasi filsafat pendidikan pada urutannya membawa kebingungan pada diri pendidik sehingga ketika mengajar peserta didik sangat mungkin tergelincir pada filsafat pendidikan sekuler. Dengan demikian, tanpa disadari kita telah ikut mengkampanyekan paham sekularisme. Bagaimana kedudukan Tauhid dalam penyusunan kurikulum di SD Muhammadiyah Program Khusus, kita simak uraian di bawah ini:
Sebuah ilustrasi berikut mungkin bisa membantu: puluhan truk (rit) pasir, sejumlah sak semen dan beberapa kaleng cat tidak begitu bermakna apabila hanya di pajang di toko atau disimpan di gudang. Material itu menjadi bermakna di tangan tukang batu atau arsitek, beragam bentuk bangunan atau arsitektur akan bisa diwujudkan…..Dalam konteks pendidikan ilustrasi tersebut menjadi jelas; melimpahnya materi tentang aqidah, akhlak, al-Qur’an-Hadits, atau hafalan sekian juz plus materi ilmu umum menjadi tidak bermakna manakala dijejalkan begitu saja ke peserta didik dalam keadaan saling terpisah dan bersifat parsial. 
Kita menyadari bahwa ikhtiar membangun kurikulum berbasis tauhid (KBT) tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membutuhkan beberapa generasi untuk merealisasikannya, tapi langkah itu setidaknya telah meletakkan satu batu bata untuk pembangunan peradaban Islam yang kokoh dan anggun. Dan kerja di pendidikan adalah kerja-kerja yang sangat stategis dalam rangka meretas generasi masa depan yang berkualitas. Mungkin ada yang bertanya, bagaimana aktualisasi KBT di SD Muhammadiayah Program Khusus? Untuk sekarang ini masih terlalu dini untuk melakukan penilaian, tapi paling tidak sebuah penilaian awal yang bersifat umum perlu dikemukakan. Perlu ditekankan di sini, bahwa ini adalah penglihatan awal dari sebuah proses yang masih sedang berlangsung sehingga tidak menutup kemungkinan ada perubahan di kemudian hari.
Pertama, peserta didik pada umumnya berani mengekspresikan diri, ada keberanian untuk mengutarakan pikirannya. Meski ada keberatan dari beberapa orang tua dan guru karena alasan etika atau unggah ungguh, seiring meningkatnya kedewasaan masalah ini pasti akan tertata dengan sendirinya. Kemampuan ini adalah sesuatu yang sangat berharga, dan telah telah menghilang di sekolah-sekolah konvensional. Banyak temuan di lapangan, anak-anak berani mengingatkan orang tuanya yang lupa makan dengan berdiri, mengingatkan mereka untuk sholat. Fenomena ini disebabkan atau dilatar belakangi oleh (a) alasan agama yang memang ditanamkan di sekolah ini, bahwa yang wajib di takuti (dalam makna positif) dan Yang Maha Benar adalah Allah karenanya selain Dia tidak perlu ditakuti dan ada kemungkinan melakukan kekeliruan sehingga sudah pada tempatnya bila diingatkan, tidak terkecuali orang tua atau guru. Dan, karena (b) model pembelajaran inklusi yang dikembangkan oleh sekolah. Dengan pembatasan jumlah siswa maksimal 30 perkelas dan diampu 2 guru memungkinkan setiap potensi anak terdeteksi oleh guru sehingga dapat ditumbuhkan secara optimal.
Kedua, semangat anak-anak untuk mempraktekkan ajaran agama sangat tinggi, sejak kelas 1 ditanamkan untuk selalu shalat wajib lima waktu secara berjamaah. Mulai kelas 3 sudah kelihatan bahwa mereka rata-rata lebih suka shalat berjamaah di masjid, bahkan ada beberapa anak yang sudah secara rutin menjalankan shalat Tahajud. Keadaan ini sedikit banyak merupakan buah dari pendekatan praktek dalam pembelajaran agama. Agama bukan hanya olah intelektual yang berisi konsep-konsep abstrak atau menjadi hafalan di kepala, tapi dengan mempraktekkan secara langsung apa yang diperintahkan oleh Islam dan menghindari apa yang dilarangnya.  
Ketiga, muncul rasa ingin tahu yang besar pada diri anak-anak untuk segera memahami suatu permasalahan. Ini memang sudah dirancang, di mana semua tema pembelajaran harus di kaitkan dengan problem-problem kongrit di lapangan, baik yang dilakukan secara reguler berupa Praktek Pembelaran Lapangan (PPL) yang dilakukan setahun 2 kali maupun dengan model riset laboratorium.  

 REFLEKSI
Apabila Muhammadiyah benar-benar mau membangun sekolah/universitas unggul maka harus ada keberanian untuk merumuskan bagaimana landasan filosofis pendidikannya sehingga dapat meletakkan secara tegas bagaimana posisi lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah dihadapan pendidikan nasional, dan kedudukannya yang strategis sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fungsinya sebagai wahana dakwah Islamiyah. Ketiadaan orientasi filosofis ini jelas sangat membingungkan; apa harus mengikuti arus pendidikan nasional yang sejauh ini kebijakannya belum menuju pada garis yang jelas karena setiap ganti menteri musti ganti kebijakan. Kalau memang memilih pada pengembangan iptek maka harus ada keberanian memilih arah yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Model pondok gontor bisa dijadikan alternatif, dengan bahasa dan kebebasan berfikir terbukti mampu mengantarkan peserta didik menjadi manusia-manusia yang unggul.
Jika menengok sekolah/universitas Muhammadiyah saat ini, dari sisi kurikulumnya itu sama persis dengan sekolah/universitas negeri ditambah materi al-Islam dan kemuhammadiyahan. Kalau melihat materi yang begitu banyak, maka penambahan itu malah semakin membebani anak, karenanya amat jarang lembaga pendidikan melahirkan bibit-bibit unggul. Apakah tidak sudah waktunya untuk merumuskan kembali Al-Islam dan kemuhammadiyahan yang terintegrasikan dengan materi-materi umum, atau paling tidak disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik; misalnya, evaluasi materi ibadah dan Al-Qur’an, serta bahasa dengan praktek langsung tidak dengan sistem ujian tulis seperti sekarang ini.
Sembari merumuskan orientasi filosofis pendidikan, pendidikan Islam (Muhammadiyah) memerlukan kepekaan dalam memahami perkembangan kehidupan dan menjawab setiap kebutuhan baru yang timbul dari cita-cita anggota masyarakat dengan strategi sebagai berikut: 
1. mengusahakan nilai-nilai islami dalam pendidikan Islam menjadi ketentuan standar bagi pengembangan moral atau masyarakat yang selalu mengalami perubahan itu; 
2. Mengusahakan peran pendidikan Islam mengembangkan moral peserta didik sebagai dasar pertimbangan dan pengendali tingkah lakunya dalam menghadapi norma sekuler; 
3. Mengusahakan norma islami mampu menjadi pengendali kehidupan pribadi dalam menghadapi goncangan hidup dalam era globalisasi ini sehingga para peserta didik mampu menjadi sumber daya insani yang berkualitas; 
4. Mengusahakan nilai-nilai islami dapat menjadi pengikat hidup bersama dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam yang kokoh dengan tetap memperhatikan lingkungan kepentingan bangsa; dan (5) mengusahakan sifat ambivalensi pendidikan Islam agar tidak timbul pandangan yang dikotomis.  

Jumat, 05 Desember 2008

Bahasa arab sebagai bahasa dunia

Pada masa Abbasiyah bahasa arab menjadi sebuah bahasa dunia, di mana saat itu peradaban Islam sapai pada masa keemasaannya, dan banyak buku berbahasa yunani dan persia diterjemahkan ke dalam bahasa arab, dan banyak ulama saat itu mengarang buku-buku dalam berbagai disiplin ilmu diantaranya dalam ilmu kedokteran, arsitektur, matematika, sains, dan ilmu-ilmu lainnya. Dengan bahasa arab ilmu-ilmu ini dibawa sampai ke Eropa, yang akhirnya menjadi dasar peradaban Barat pada masa modern.
Bangsa Arab mengalami masa kemunduran setelah itu, dimana mereka mengesampingkan masalah agama, dan meninggalkan bahasa arab yang fasih, serta memakai berbagai dialek yang berbeda, yang akhirnya datanglah masa penjajahan dari berbagai negeri seberang, yang memerangi ….. islam, serta bahasa arab fasih, dan memasukkan dialek mereka sehingga muncullah macam-macam dialek seperti mesir, maroko, suriah dan dialek lainnya. Dan permasalahan in telah membuat negara Arab saat itu terpecah belah, satu dengan yang lain saling menjauh, sebagai contoh ketika seseorang dari sebuah daerah arab bepergian ke daerah arab lainnya, maka ia akan merasakan kesulitan untuk berkomunikasi dengan penduduk daerah tersebut apabila ia berkomunikasi dengan dialek mereka, dan tidak akan terealisasi sebuah komunikasi yang sempurna diantara keduanya, kecuali apabila keduanya memakai bahasa arab yang fasih.
Berbeda dengan hari ini, setiap dialek pun mengalami kemunduran, dan masa ini bahasa arab fasih menguat; yang dikarenakan fasilitas pendidikan dan alat komunikasi yang semakin maju. Dan bahasa arab kemali menjadi bahasa dunia, seperti halnya bahasa inggris, perancis, dan spanyol. Dan bahasa arab sudah menjadi salah satu bahasa resmi dalam PBB, dan ia bahasa ke -6 di dunia, yang dipakai oleh kurang lebih 200 juta orang arab, dan orang muslim diberbagai belahan dunia pun menggunakannya disetiap peribadatan mereka.

ILMU FIQH DAN USHUL FIQH

Definisi Fiqh dan Ushul Fiqh
Al-Fiqh berasal dari bahasa Arab yang berarti paham yang mendalam. Adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun hubungan manusia dengan Penciptanya.
Ada beberapa definisi fiqh yang dikemukakan ulama fiqh sesuai dengan perkembangan arti fiqh itu sendiri. Misalnya Abu Hanifah mendefinisikan fiqh sebagai pengetahuan seseorang tentang hak dan kewajibannya. Definisi ini meliputi semua aspek kehidupan, yaitu aqidah, mu’amalat, dan akhlak. Prof. Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya “Baina Syubhtaid Dhallin wa Akadzibil Muftarin” mengatakan bahwa Fiqh ialah analisa fuqaha pada garis dilalat nash atau pada sesuatu yang tidak ada nash padanya . Dalam perkembangan selanjutnya sesuai dengan pembidangan ilmu yang semakin tegas ulama ushul fiqh mendefinisikan fiqh sebagai ilmu tentang hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh melalui dalil yang terperinci . Definisi tadi dikemukakan oleh Imam Al-Amidi, dan telah menjadi definisi Fiqh termutakhir dan masyhur hingga sekarang.
Definisi diatas dapat diuraikan bahwa fiqh mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Fiqh merupakan suatu ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah dan prinsip tertentu.
2. Fiqh adalah ilmu tentng hukum syar’iyyah yang bersumber dari Kalamullah sebagai sumber utama.
3. Fiqh adalah ilmu tentang hukum syar’iyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang bersifat praktis didapat melalui proses istinbath dan istidlal dari sumber hukum yang benar.
4. Fiqh diperoleh dengan dalil tafshili (terperinci), berasal dari Al-Qur’an, Al-Hadits, Qiyas, dan Ijma’ melalui proses istidlal, istinbath, atau nahr (analisis).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum fiqh tidak dapat terlepas dari An-Nusus Al-Muqaddasah. Maka dari itu sutu hukum tidak dinamakan fiqh apabila analisis untuk memperoleh hukum itu bukan melalui istidlal dan istinbath kepada salah satu sumber syariat.
Melangkah pada kata Ushul Fiqh, kata Ushul Fiqh adalah rangkaian dari dua kata yang membentuk tarkib ifadlah, yaitu Ushul dan Fiqh. Kata Ushul adalah bentuk plural dari kata Ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Dan kata Fiqh sendiri, seperti dalam permulaan pembahasan ini, berarti paham yang mendalam. Sedangkan Sayyid Al-Jurjaniy mengemukakan fiqh adalah “Ilmu tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci”. Abdul Wahhab al-Khallaf sendiri mengatakan bahwa Fiqh merupakan “kumpulan hukum-hukum syariat mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci”. 
Dari penjelasan Ushul dan Fiqh di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dua kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara’ mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Tidak lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari'ah. Misalnya Abdul Wahhab Khallaf memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan "Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci ." Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum syara' sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai berikut :"Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci."
Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara' dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi 'illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara'. Oleh karena itu Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan "Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara'."
Adapun secara terminologi, Asl memiliki lima pengertian, yaitu :
1. Al-Qawa’id Al-Kulliyah (prinsip-prinsip umum),
2. Ar-Rajih (yang terkuat),
3. Al-Mushtahab,
4. Al-Maqis,
5. Ad-Dalil
Dari pengertian terminologi di atas, artinya yang terakhir adalah yang paling sesuai dengan definisi Ushul Fiqh, menurut para fuqaha’ yaitu dalil-dalil fiqh dalam pengertian global.

Sumber Fiqh
Ulama fiqh membagi dua macam sumber fiqh, yaitu sumber yang disepakati dan sumber yang diperselisihkan. Yang dimaksudkan dengan sumber fiqh adalah landasan yang digunakan untuk memperoleh hukum fiqh. 
Sumber yang disepakati atau dalam istilah Mustafa Ahmad az-Zarqa disebut dengan al-Masadir al-Asasiyyah adalah Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW. Tetapi menurut jumhur ulama fiqh sumber tersebut ada empat, yaitu Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW, Ijma', dan Qiyas. 
Adapun sumber fiqh yang tidak disepakati seluruh ulama fiqh atau yang disebut juga dengan al-masadir at-Taba'iyyah (sumber selain Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW) terdiri atas Istihsan, Maslahat, Istishab, Irf, Sadd az-Zari'ah, Mazhab Sahabi, dan Syar'u Man Qablana. Bagi ulama fiqh yang menyatakan bahwa al-Masadir al-Asasiyyah hanya terdiri dari Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah SAW, Ijma', Qiyas, dan yang termasuk al-Masadir at-Taba'iyyah tersebut dikatakan sebagai dalil atau metode untuk memperoleh hukum syara' melalui ijtihad. Alasannya, metode-metode tersebut merupakan metode penggalian hukum Islam yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus disandarkan kepada Al-Qur'an dan atau sunnah Nabi SAW. Oleh sebab itu, ada diantara metode ijtihad tersebut yang keabsahannya sebagai dalil diperselisihkan ulama ushul fiqh. Misalnya, metode istihsan diterima oleh ulama Mazhab Hanafi, Maliki dan sebagian Mazhab Hanbali sebagai dalil; sedangkan ulama Mazhab Syafi'i menolaknya. Karenanya dalam suatu kasus akan ditemukan beberapa hukum, apabila landasan yang dipakai adalah salah satu dari al-Masadir at-Taba'iyyah tersebut. 
Munculnya perbedaan ini disebabkan karena perbedaan metode yang digunakan dalam berijtihad terhadap kasus tersebut.

Objek bahasan dan ruang lingkup Fiqh
Objek bahasan ilmu fiqh adalah setiap perbuatan mukallaf yang memiliki nilai dan telah ditetapkan hukumnya.
Berdasarkan definisi fiqh yang dikemukakan ulama ushul fiqh, yang menjadi objek bahasan ilmu fiqh adalah setiap perbuatan mukallaf yang memiliki nilai dan telah ditentukan hukumnya. Nilai perbuatan itu bisa berbentuk wajib, sunah, mubah, haram, atau makruh. 
Di samping itu, bidang bahasan ilmu fiqh hanya mencakup hukum yang berkaitan dengan masalah amaliyah (praktek). Pengetahuan terhadap fiqh bertujuan agar hukum tersebut dapat dilaksanakan para mukallaf dalam kehidupannya sehari-hari, sekaligus untuk mengetahui nilai dari perkataan dan perbuatan para mukallaf tersebut. 
Disamping hukum itu ditunjukan pula alat dan cara melaksanakan suatu perbuatan dalam dalam menempuh garis lintas hidup yang tak dapat dipastikan oleh manusia liku dan panjangnya. Sebagai mahluk sosial dan budaya manusia hidup memerlukan hubungan, baik hubungan dengan dirinya sendiri ataupun dengan sesuatu di luar dirinya. Ilmu fiqh membicarakan hubungan itu yang meliputi kedudukannya, hukumnya, caranya, alatnya dan sebagainya. Hubungan-hubungan itu ialah:
1. Hubungan manusia dengan Allah, Tuhannya dan Para Rasulullah;
2. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri;
3. Hubungan manusia dengan keluarga dan tetangganya;
4. Hubungan manusia dengan orang lain seagama dengannya;
5. Hubungan manusia dengan orang lain yang tidak seagama dengannya;
6. Hubungan manusia dengan makhluk hidup lainnya;
7. Hubungan manusia dengan benda mati dan alam semesta;
8. Hubungan manusia dengan masyarakat dan lingkungannya;
9. Hubungan manusia dengan akal fikiran dan pengetahuan;
10. Hubungan manusia dengan alam ghaib.

Karena rumusan fiqh itu berbentuk hukum hasil formulasi para ulama yang bersumber pada Al-Qur'an, Sunnah dan Ijtihad, maka urutan dan luas pembahasannya bermacam-macam. Setelah kegiatan ijtihad itu berkembang, muncullah imam-imam madzhab yang diikuti oleh murid-murid mereka pada mulanya, dan selanjutnya oleh para pendukung dan penganutnya. Diantara kegiatan para tokoh-tokoh aliran madzhab itu, terdapat kegiatan menerbitkan topik-topik pembahasan fiqh. Menurut yang umum dikenal di kalangan ulama fiqh secara awam, topik pembahasan fiqh itu adalah empat, yang sering disebut Rubu' yaitu Rubu’ Ibadat, Rubu’ Mu’amalat, Rubu’ Munakahat, dan Rubu’ Jinayah.
Ada lagi yang berpendapat tiga saja yaitu: bab ibadah, bab mu'amalat, bab 'uqubat. Menurut Prof. T.M. Hasbi Ashiddieqqi, bila kita perinci lebih lanjut, dapat dikembangkan menjadi 8 (delapan) topik :
a. Ibadah.
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan berikut ini: Thaharah, Ibadah, Shiyam, Zakat, Zakat Fithrah, Haji, Janazah, Jihad, Nadzar; Udhiyah, Zabihah, Shayid, 'Aqiqah, Makanan dan minuman
b. Ahwalusy Syakhshiyyah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pribadi (perorangan), kekeluargaan, harta warisan, yang meliputi persoalan: Nikah, Khithbah, Mu'asyarah, Nafaqah, Talak, Khulu', Fasakh, Li'an, Zhihar, Ila', dan lain-lain.
c. Muamalah Madaniyah
Biasanya disebut muamalah saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan, harta milik, harta kebutuhan, cara mendapatkan dan menggunakan, yang meliputi masalah: Jual-beli, Khiyar, Riba, Sewa-menyewa, Hutang-piutang, Gadai, dan lain-lain.
d. Muamalah Maliyah
Kadang-kadang disebut Baitul mal saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan milik bersama, baik masyarakat kecil atau besar seperti negara (perbendaharaan negara = baitul mal). Pembahasan di sini meliputi: Status milik bersama baitul mal, Sumber baitul mal, Cara pengelolaan baitul mal, Macam-macam kekayaan atau materi baitul mal, Obyek dan cara penggunaan kekayaan baitul mal, Kepengurusan baitul maal; dan lain-lain.
e. Jinayah dan 'Uqubah (pelanggaran dan hukuman)
Biasanya dalam kitab-kitab fiqh ada yang menyebut jinayah saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pelanggaran, kejahatan, pembalasan, denda, hukuman dan sebagainya. Pembahasan ini meliputi: Pelanggaran, Kejahatan, Qishash, Diyat, Hukuman pelanggaran dan kejahatan, dan lain-lain. 
f. Murafa'ah atau Mukhashamah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan peradilan dan pengadilan. Pembahasan pada bab ini meliputi: Peradilan dan pendidikan, Hakim dan Qadi, Gugatan, Pembuktian dakwaan, Saksi, Sumpah dan lain-lain.
g. Ahkamud Dusturiyyah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan ketatanegaraan. Pembahasan ini meliputi: Kepala negara dan Waliyul amri, Syarat menjadi kepala negara dan Waliyul amri, Hak dan kewajiban Waliyul amri, Hak dan kewajiban rakyat, Musyawarah dan demokrasi, Batas-batas toleransi dan persamaan, dan lain-lain.
h. Ahkamud Dualiyah (hukum internasional)
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok masalah hubungan internasional. Pembicaraan pada bab ini meliputi: Hubungan antar negara, sama-sama Islam, atau Islam dan non-Islam, baik ketika damai atau dalam situasi perang, Ketentuan untuk orang dan damai, Penyerbuan, Masalah tawanan, Upeti, Pajak, dan lain-lain.

Objek bahasan dan ruang lingkup Ushul Fiqh
Obyek suatu ilmu adalah seluk-beluk yang secara substantif nampak dan inheren dalam disiplin ilmu yang dikaji. Sehingga obyek ilmu ushul fiqh adalah segala aspek yang terkandung dalam disiplin ilmu tersebut. Dari berbagai pendapat yang ada, tetapi kesemuanya bermuara pada dalil-dalil, macam-macamnya, tingkatannya, dan juga metode yang dipakai.
Al-Ghazali secara terperinci membagi obyek kajian Ushul fiqh dengan analogi sebuah pohon yang terdiri dari beberapa unsur, yaitu buah, pohon, cara bercocok tanam, serta cara memetiknya . Dari analogi tersebut dapat diartikan sebagai berikut 
1. Pembahasan tentang dalil, Pembahasan tentang dalil dalam ilmu Ushul Fiqh adalah secara global dalam hal ini analogi Al-Ghazali bertumpu pada pohon sebagai sumber.
2. Pembahasan tentang hukum, Pembahasan tentang hukum dalam Ilmu Ushul Fiqh adalah secara umum, tidak dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini, meliputi pembahasan tentang macam-macam hukum dan syarat-syaratnya, yang dalam analoginya digambarkan sebagai buah yang merupakan hasil dari pohon..
3. Pembahasan tentang kaidah, Pembahasan tentang kaidah yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukum dari dalil-dalilnya antara lain mengenai macam-macamnya, kehujjahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya, analoginya adalah cara bercocok tanam yaitu metode-metode yang dipakai untuk menanam pohon untuk menghasilkan buah.
4. Pembahasan tentang ijtihad, Dalam pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya, syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kaca mata ijtihad dan hukum melakukan ijtihad, disini Al-Ghazali menggambarkanya dengan cara memetik buah dari pohonnya.
Pengetahuan Fiqh adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqh. Meskipun cara-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh. 
Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu.
Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:
1. Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi dan hukum wadl'i.
2. Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi).
3. Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi).
4. Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia. 
5. Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
6. Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan ra’yu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
7. Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.
8. Masalah ra’yu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam mempelajari Ushui Fiqh ialah bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan. 
Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu tata bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri'il islami dan ilmu tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan dari kaidahnya. Ushul Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari'at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Fiqh orang mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu. 
Dengan demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapat menjadi Mujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi' yang baik . Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam segala bidang. 
Melihat demikian luasnya ruang lingkup materi Ilmu Ushul Fiqh, tentu saja tidak semua perguruan/lembaga dapat mempelajarinya secara keseluruhan.

Tujuan Ilmu Fiqh dan Ilmu Ushul Fiqh
Diantara tujuan Ilmu fiqh adalah sebagai berikut:
1. Menerapkan hukum-hukum syariat terhadap perbuatan dan ucapan manusia.
2. Menuntun manusia dalam bermuamalat.
3. Memberikan rambu-rambu bagi mukallaf.
4. Mukallaf dapat mengetahui konsekwensi apa yang diterima dari perbuatannya.
Sedangkan sebagaimana telah dimaklumi bahwa ushul fiqh merupakan kumpulan kaidah istinbath hukum yang menjadi acuan bagi mujtahid dalam mengeluarkan hukum. Secara terperinci lagi tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui nas-nas syariat dan hukum-hukum yang dikandungnya
2. Mengartikulasikan dan mengklasifikasikan dalil-dalil zanni dan qath’i.
3. Mengetahui teori tarjih 
4. Mengetahui cara istinbat hukum dari dalil-dalil
5. Memahami kerangka epistemologi dan metodologi hukum produk pemikiran mujtahid
6. Dapat menilai fuqaha yang unggul dalam sebuah hukum yang dipermasalahkan.

Sejarah perkembangan Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh
a. Sejarah perkembangan Ilmu Fiqh
Hukum-hukum Fiqh tumbuh bersamaan dengan bertumbuhnya agama Islam, karena sebenarnya agama Islam merupakan kumpulan dari akidah, akhlak dan hukum amaliyah. 
Menurut pandangan Mustafa Ahmad Az-Zarqa’, ada 6 periode perkembangan fiqh, yaitu :
1. Periode Risalah
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai beliau wafat tahun 11 H / 571 M. Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya ditangan Rasulullah yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits. Apabila penjelasan dari Nabi yang berbentuk sunnah itu merupakan hasil penalaran atas ayat-ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu disebut sebagai “Fiqh Sunnah“. 
Akan tetapi walaupun demikian para Ulama masih berselisih tentang kemungkinan Nabi berijtihad, berdasarkan firman Allah :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى (النجم:٣ – ٤)
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya” (An-Najm : 3 – 4).
Adapun perbedaan pendapat yang ada didasari oleh beberapa sebab sebagai berikut :
a. Allah telah menyampaikan pesan kepada Nabi sebagaimana juga berlaku pada hambanya yang lain. Dengan mengambil I’tibar dari kejadian yang telah berlalu.
b. Nabi beberapa kali mendapat teguran dari Allah atas tindakan yang dilakukannya, seperti firman Allah :
مَاكَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ أَسْرَى حَتىَّ يُثْخِنَ فِي الأَرْضِ (الأنفال:٦٧)
 “Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi” (Al-Anfal : 67 ).
c. Sunnah Nabi yang artinya sebagai berikut, 
“Sesungguhnya aku menetapkan hukum berdasarkan yang lahir, dan kamu minta penyelesaian permusuhan kepadaku, barangkali seseorang diantara kamu lebih lihai dalam perkara ini dibandingkan dengan yang lain. Siapa yang aku putuskan untuknya sesuatu yang berkenaan dengan harta orang lain, janganlah dimakan. Sesungguhnya aku memberikan kepadanya potongan api neraka”.
Periode risalah ini dibagi menjadi 2 periode yaitu periode Makkah dan Madinah. Pada periode Makkah, ayat tentang hukum masih sedikit krena masih berkonsentrasi pada masalah tauhid, tetapi pada periode Madinah seluruh ayat tentang persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik menyangkut ibadah maupun mu’amalah. Oleh karenanya para ulama Fiqh menyebutnya sebagai periode revolusi sosial dan politik.
2. Periode Khulafaurrasyidin 
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai dinasti Bani Umayyah. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur’an dan hadits Nabi juga ditandai dengan munculnya Ijtihad daripada sahabat. Hal ini dilakukan karena munculnya persoalan-persoalan yang hukumnya belum ditemukan dalam nash, sesuai dengan perkembangan Islam yang semakin meluas. Ijtihad mulai berkembang sejak masa Khalifah Umar bin Khattab (13 H/634 M).
Pada periode ini pula untuk pertama kalinya para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk, karena daerah kekuasaan Islam sudah sangat luas dan masing-masing daerah mempunyai budaya, tradisi, situasi dan kondisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan baru tersebut.
3. Periode awal pertumbuhan Fiqh
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2. Periode ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dan munculnya fatwa dan Ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan (33H/644M).
Di Irak Ibnu Mas’ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum disana. Ibnu Mas’ud mengikuti pola yang telah ditempuh oleh Umar bin Khatab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemashlahatan umat tanpa terkait dengan makna harfiah teks-teks suci. Umar bin Khatab mengambil sikap tersebut karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci ini diturunkan. Dari perkembangan ini muncullah beberapa Madrasah Hadits dan Ahlurra’yi (Ahlul Hadits dan Ahlurra’yi).
Ibnu Mas’ud mempunyai beberapa murid di antaranya : Ibrahim An-Nakhai (76 H), Al-Qamah bin Qais An-Nakhai (62 H), dan Syuraih bin Haris Al-Kindi (70 H).
4. Periode Keemasan
Periode berlangsung pada abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H, yang sering disebut juga dengan masa kemjuan Islam pertama (700 – 1000 M). seperti periode sebelumny ciri khas yang menonjol pad periode ini adalah semangat Ijtihad yang tinggi di kalangan para ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang pesat.
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara Ahlulhadits dan Ahlurra’yi sangat tajam, sehingga menimbilkan semangat Ijtihad bagi masing-masing aliran. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya mazhab-mazhab fiqh yaitu : Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali. Periode ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab-kitab Fiqh dan Ushul Fiqh, diantaranya Al-Muwattha oleh Imam Malik, Al-Umm oleh Imam Syafi’I, Dzahir Ar-Riwayah dan An-Nawadir oleh Imam Syaibani, dan kitab Ar-Risalah kitab Ushul Fiqh oleh Imam Syafi’i. Bersamaan dengan perkembangan Ilmu Fiqh, Ushul Fiqh pun sampai pada perkembangan yang sepadan, dan muncul banyak teori-teori dalam Ilmu Ushul Fiqh seperti Qiyas, Istihsan, Al-Mashalih Al-Mursalah, serta masih banyak lagi.
5. Periode Tahrir, Takhrij, dan Tarjih dalam mazhab Fiqh
Periode ini dimuai pada pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksud dengan Tahrir, Takhrij dan Tarjih adalah upaya yang dilakukan para ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas, dan mengupas pendapat para Imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat Ijtihad di kalangan ulama Fiqh, mereka lebih banyak berpegang pada hasil Ijtihad Imam-imam mazhab mereka sehingga tidak ada lagi “Al-Mujtahid Al-Mustaqill” tetapi muncul “Al-Mujtahid fil Mazhab” dan sikap “At-Ta’assub Al-Mazhabi”.
Menurut Mustafa Az-Zarqa’ ada beberapa faktor munculnya kenyataan bahwa pintu Ijtihad itu telah tertutup, yaitu :
a. Dorongan para penguasa kepada hakim untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
b. Munculnya sikap At-Ta’assub Al-Mazhabi yang berakibat pada sikap “kejumudan” dan “taqlid” di kalangan murid Imam Mazhab.
c. Muncul Gerakan pembukuan pendapat masing-maing mazhab yang memudahkan orang-orng untuk memilih pendapt mazhabnya dan menjadikannya buku itu sebagi rujukan bagi masing-masing mazhab.
6. Periode kemunduran Fiqh
Periode ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 sampai munculnya majalah “Al-Ahkam Al-‘Adliyah” (Hukum Perdata Kerajaan Turki Utsmani) pada 26 Sya’ban 1293 M. 
Mustafa Az-Zarqa’ menyatakan bahwa ada 3 ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini, yaitu :
a. Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga muncul buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatw resmi (mufti) dalam berbagai mazhab.
b. Muncul berbagai produk fiqh sesuai dengan keinginan Turki Utsmani seperti diberlakukannya istilah At-Taqaddum (kadaluwarsa) di pengadilan.
c. Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum fiqh Islam sebagai mazhab resmi pemerintahan.
Mustafa Ahmad Az-Zarqa’ juga mengemukakan 3 ciri yang mewarnai perkembangan fiqh masa itu, yaitu : 
1. Munculnya upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman.
2. Upaya pengkodifikasian fiqh semakin luas, bukan saja di wilayah Turki Utsmani, tapi juga di wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada Yurisdiksi Turki Utsmani, seperti Suriah, Palestina, dan Irak.
3. Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat dengan salah satu mazhab fiqh tertentu.
b. Sejarah perkembangan Ushul Fiqh
Pada masa Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanyalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Apabila ayat Al-Qur’an belum turun ketika beliau menghadapi suatu masalah, maka dengan bimbingan Allah SWT beliau akan menetapkan hukumnya (Sunnah Rasul). Disamping itu beliau juga terkesan melakukan ijtihad dalam sunahnya. Misalnya, beliau melakukan Qiyas terhadap peristiwa yang dialami Umar bin Khatab ra sebagai berikut : “Wahai Rasulullah, hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang besar. Saya mencium istri saya padahal saya sedang berpuasa”. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya : “Bagaimana pendapatmu, seandainya kamu berkumur dengan air dikala kamu berpuasa?”. Lalu umar menjawab : “Tidak apa-apa yang demikian itu”, kemudian Rasulullah bersabda : “Maka tetaplah kamu berpuasa”.
Seperti pada masa sebelumnya, pada masa sahabat pun juga timbul persoalan-persoalan yang hukumnya tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, untuk itu mereka juga melakukan ijtihad, sebagaimana yang pernah diperintahkan Rasulullah kepada Amru bin Ash. Salah satu contoh hasil Ijtihad para sahabat yaitu : Umar bin Khattab ra tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena ia dalam keadaaan kelaparan (darurat/terpaksa).
Pada masa tabi’it tabi’in dan para mujtahid sekitar abda ke – 2 dan ke – 3 H, wilayah Islam menjadi semakin luas. Seiring dengan itu pula maka permasalahan hukum Islam di kalangan masyarakat Islam semakin banyak dan kompleks, apalagi setiap daerah itu mempunyai budaya, situasi dan kondisi yang berbeda. Untuk itu para ulama yang menyebar di daerah-daerah tersebut berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Disamping menyebarnya Islam di luar jazirah Arab, maka secara otomatis orang-orang arab akan bergaul dengan bangsa-bangsa non arab, sehingga terjadilah penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan maupun kalimatnya, baik ucapan maupun tulisannya. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah lughawiyah agar bahasa Arab dipahami oleh orang lain sebagaimana orang Arab memahaminya. Disamping itu disusun pula kaidah-kaidah syar’iyyah untuk panduan dalam berijtihad. Yang dengan disusunnya kaidah syar’iyyah dan lughawiyah ini dalam berijtihad pada abad ke – 2 dan 3 h maka terwujudlah kitab-kitab dalam Ilmu Ushul Fiqh.
Ibnu Nadim berpendapat bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh adalah Imam Abu Yusuf, sedangkan menurut Abdul Wahhab Al-Khallaf ulama pertama kali yang membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh adalah Muhammad Idris Asy-Syafi’I (150 - 204 H) dalam kitabnya Ar-Risalah. Kitab tersebut adalah kitab Ushul Fiqh pertama yang sampai kepada umat setelahnya, oleh karena itu para ulama mengenalnya sebagai peletak Ilmu Ushul Fiqh.
Secara sistematis dapat kita petakan dalam 3 masa perkembangan Ilmu Ushul Fiqh, yaitu :
1. Periode Pertumbuhan
Para ulama sunni bersepakat bahwa ushul fiqh berdiri sebagai disiplin ilmu lahir pada awal abad III H, yaitu setelah penyusunan kita ushul pertama Ar-Risalah. Meskipun demikian metode istinbath sudah muncul sejak jaman nabi, karena katifitas beliau telah menunjukkan adanya aktifitas ijtihad dalam mengambil keputusan. Masa inilah para sahabat yang berpencar di berbagai belahan tanah arab banyak mengambil keputusan dengan Ijtihad ketika belum menemukan nas tentang permasalahan seperti halnya nabi saat itu, dan disinilah muncul benih pertentangan antara wahyu dan ra’yu. Dan kegiatan ini semakin meningkat ketika masa tabi’in dimana semakin meluasnya wilayah Islam. Dan masa inilah dimulainya pertentangan antara kelompok rasionalis Kufah dan tradisionalis Hijaz dan Madinah. Ketegangan antara dua kubu tersebut tidak terbatas pada masalah ushul saja tetapi juga dalam wilayah furu’iyyah. Di periode ini Ushul hanya tumbuh menjadi manhaj yang alami dan ciri khas dari istinbath hukum.
Sampai akhirnya terbitlah buku Ar-Risalah yang dikarang oleh Asy-Syafi’iy yang mencoba menggariskan metode istinbath dan menggali sumber-sumber fiqh serta menguasai ilmunya dalam bentuk yang sempurna. Yang menjadikan beliau dianggap oleh mayoritas Sunni Asy-Syafi’iyyah sebagai pioner serta guru arsitek Ilmu ushul fiqh.
2. Periode Perkembangan
Periode dimana kitab Ar-Risalah banyak direspon oleh ulama setelah Asy-Syafi’iy dengan respon yang bermacam-macam. Pertama, hanya menjelaskan metode istinbath asy-Syafi’iy. Kedua, menjelaskan lagi kaidah-kaidah atau dasar-dasar istinbath yang telah dirumuskan. Ketiga, mengambil ide patokan yang dikemukakan oleh asy-Syafi’iy.
Periode ini ditandai dengan melemahnya kekuatan daulah Abbasiyyah, namun walau begitu secara diametral semakin pesatnya kegiatan ilmiah dan perkembangan ilmu yang jauh lebih maju.
3. Periode Penyempurnaan
Memasuki abad ke V H ushul fiqh semakin jelas menjadi karakter masing-masing mazhab. Sehingga timbullah 2 golongan besar dalam perumusan Ushul, yaitu fuqaha dan mutakallimin. 
Periode ini telah melahirkan banyak Ulama Ushul dengan berbagai karya kitab-kitab ushul yang ketika itu berkembang sangat pesat. Dan diantara buku-buku yang menjadi rujukan standar pada masa itu adalah sebagai berikut:
1. Al-Mughni fi Abwab al-‘Adl wa At-Tauhid karya Al-Qadi Abdul Jabar, sebagai representasi Mu’tazilah.
2. Al-Mu’tamad fi Ushul Al-Fiqh karya Abu al-Husain al-Basri, rujukan utama kelompok Mutakallimin.
3. Al-‘Uddah fi Ushul al-Fiqh sebagai rujukan pengikut mazhab Hanbali.
Selain buku-buku di atas masih banyak buku lainnya yang membahas tentang ushul.
Mazhab Fiqh
Menurut aspek teologis, mazhab fiqh dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlussunnah dan Mazhab Syi’ah.
a. Mazhab Ahlussunnah
Mazhab ini terdiri atas 4 mazhab populer yang masih utuh sampai sekarang, yaitu sebagai berikut:
1. Mazhab Hanafi
Pendiri Mazhab Hanafi ialah Imam Abu Hanifah. Dilahirkan pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada tahun 150 H dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yi. Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.
 Dasar-dasar Mazhab Hanafi dalam menerapkan hukum fiqh antara lain:
o Al Qur’an
o As Sunnah
o Perkataan para sahabat
o Al Qiyas o Al Istihsan
o Ijma’
o Uruf
 Berbagai pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah. Buku ini terdiri dari 6 bagian, yaitu: bagian pertama diberi nama al-Mabsut, bagian kedua al-Jami’ al-Kabir, bagian ketiga al-Jami’ as-Sagir, bagian keempat as-Siyar al-Kabir, bagian kelima as-Siyar as-Sagir, bagian keenam az-Ziyadah. Keenam bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kafi hingga ada yang mensyarahnya dan diberi judul al-Mabsut. Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi.
2. Mazhab Maliki
Pendiri mazhab ini adalah Malik bin Anas bin Abu Amir. Yang terkenal dengan sebutan Imam Malik. Lahir pada tahun 93 H = 712 M di Madinah. Beliau terkenal sebagai seorang Ahlulhadits.
Mazhab Maliki adalah kumpulan dari beberapa pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia. Pemikiran fiqh dan ushul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa’.
Dasar Mazhab Maliki dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq oleh Imam al-Qarafi yaitu al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, Ijma, Tradisi penduduk madinah, Qiyas, Fatwa sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, ‘Urf, Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari’ah, dan Syar’u Man Qablana. Dalam Mazhab Maliki qiyas jarang digunakan karena mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.
Para murid Imam Malik yang besar andilnya dalam menyebarluaskan Mazhab Maliki diantaranya Abu Abdillah Abdurrahman bin Qasim, Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim dan masih banyak lagi lainnya.
3. Mazhab Syafi’i
Mazhab ini dibangun oleh Imam asy-Syafi’i. Beliau lahir di Gaza (Palestina) tahun 150 H bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi mazhab pertama. Guru Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang mufti di Mekah. Imam Syafi’i sanggup hafal Al-Qur’an pada usia tujuh tahun. 
Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam:
1. Qaul Qadim, yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidup di Irak.
2. Qaul Jadid, yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir pindah dari Irak.
Dasar-dasar Mazhab Syafi’i dalam mengistinbat hukum syara’ adalah:
o Al-Kitab
o Sunnah Mutawatirah
o Al-Ijma’ o Khabar Ahad
o Al-Qiyas
o Al-Istishab
Keistimewaan Imam Syafi’i dibanding dengan Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar-Risaalah. Dan kitab dalam bidang Fiqh yang menjadi induk dari mazhabnya yaitu Al-Umm.
Pokok pikiran dan prinsip dasar ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh ketiga muridnya yang terkemuka seperti Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani, dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi.
4. Mazhab Hanbali
Pemikiran Mazhab Hanbali diawali oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H, wafat tahun 241 H.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah dalam kitab I’laamul Muwaaqi’in, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:
1. Nash Al-Qur’an dan atau nash hadits,
2. Fatwa sebagian sahabat,
3. Pendapat sebagian sahabat,
4. Hadits Mursal atau hadits daif,
5. Qiyas.
Para pengembang Mazhab Hanbali diantaranya: al-Atsram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani, Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj, Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi, dan lain-lainnya.
b. Mazhab Syiah
Mazhab fiqh Syiah yang terkenal adalah Syiah Zaidiyah dan Syiah Imamiyah.
1. Mazhab Syiah Zaidiyah
Mazhab ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin seorang mufasir, muhaddits, dan faqih di zamannya. Ia menyusun kitab al-Majmu’ yang menjadi rujukan utama fiqh Zaidiyah. Kitab ini kemudian disyarah oleh Syarifuddin al-Husein bin Haimi al-Yamami dengan judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh al-Kabir.
Para pengembang Mazhab Zaidiyah diantaranya Imam al-Hadi Yahya bin Husein bin Qasim yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab Hadawiyah. Beliau menulis kitab al-Jami’ fi al-Fiqh, ar-Risalah fi al-Qiyas, dan al-Ahkam fi al-Halal wa al-Haram.
2. Mazhab Syiah Imamiyah
Menurut Muhammad Yusuf Musa, fiqh Syiah Imamiyah lebih dekat dengan fiqh Mazhab Syafi’i dengan beberapa perbedaan yang mendasar. Dalam berijtihad, apabila mereka tidak menemukan hukum suatu kasus dalam Al-Qur’an, mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam mereka sendiri.
Kitab fiqh pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa al-Kazim diberi judul al-Halal wa al-Haram. Kemudian disusul oleh Fiqh ar-Righa yang disusun oleh Ali ar-Ridla.
Perbedaan mendasar fiqh Syiah Imamiyah dengan jumhur Ahlussunnah antara lain:
1. Syiah Imamiyah menghalalkan nikah mut’ah yang diharamkan ahlussunnah,
2. Syiah Imamiyah mewajibkan kehadiran saksi dalam talak, yang dalam ahlussunnah tidak perlu,
3. Syiah Imamiyah, termasuk Syiah Zaidiyah, mengharamkan lelaki muslim menikah dengan wanita Ahlulkitab.
Mazhab Fiqh yang Punah
Maksudnya disini adalah mazhab tersebut tidak memiliki tokoh dan pengikut yang fanatik, selain itu pendapatnya tidak dibukukan sehingga tidak terpublikasi secara luas.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, mazhab yang telah punah itu antara lain:
1. Mazhab al-Auza’i
Tokoh pemikirnya adalah Abdurrahman al-Auza’i. ia adalah seorang ulama fiqh terkemuka di Syam yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Mazhab ini pernah dianut oleh masyarakat Suriah sampai Mazhab Syafi’i menggantikannya. Pemikiran al-Auza’i dapat dilihat dalam kitab fiqh yang berjudul Ikhtilaf al-Fuqaha oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir dan dalam kitab al-Umm oleh Imam Syafi’i.
2. Mazhab as-Sauri
Tokoh pemikirnya adalah Sufyan as-Sauri. Ia juga sezaman dengan Imam Abu Hanifah dan termasuk salah satu mujtahid ketika itu. Mazhab ini tidak dianut lagi sejak wafatnya penerus Mazhab as-Sauri pada tahun 406 H.
3. Mazhab al-Laist bin Sa’ad
Tokoh pemikirnya adalah al-Laist bin Sa’ad. Mazhab ini punah dengan masuknya abad ke-3 H. Alasannya karena fatwa hukum yang dikemukakan al-Laist tidak bisa diterima oleh ulama mazhab.
4. Mazhab ath-Thabari
Tokoh pemikirnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari. Di samping seorang faqih, ia juga dikenal sebagai muhaddits dan mufassir. Kitabnya dalam bidang tafsir yaitu Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Sedangkan di bidang fiqh diberi judul Ikhtilaf al-Fuqaha. Tetapi sejak abad ke-4 H mazhab ini tidak mempunyai pengikut lagi.
5. Mazhab az-Zahiri
Tokoh pemikirnya adalah Daud az-Zahiri yang dijuluki Abu Sulaiman.pemikiran mazhab ini dapat ditemui sampai sekarang melalui karya ilmiah Ibnu Hazm, yaitu dalam kitab al-Ahkam fi Usul al-Ahkam di bidang ushul fiqh dan al-Muhalla di bidang fiqh. Sekalipun para tokoh mazhab ini banyak menulis buku di bidang fiqh, namun pengikut fanatiknya tidak banyak.
 Dengan punahnya mazhab-mazhab kecil, maka mazhab yang dianut masyarakat Islam sampai sekarang ialah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hanbali, yang dalam fiqh disebut dengan al-Mazahib al-Arba’ah (Mazhab yang Empat) atau al-Mazahib al-Qubra (Mazhab-Mazhab Besar).

Ciri ciri fiqh tiap madzhab dan kecenderungannya 
a. Mazhab Ahlul hadist
1. Kecenderungan fiqh-nya
Mazhab ini terkait dengan nash – nash syara’ yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadist dan tidak melakukan ra’yu yang bersandar pada usaha akal semata. Argumentasi mereka bahwa syari’ah itu dari Allah, oleh sebab itu tidak layak menjadi arena percaturan hamba – hambanya, pendapat manusia bisa salah dan benar, sedangkan Al-Qur’an dan As-Sunah terlepas dari kesalahan.
2. Langkah dalam pengambilan hukum
a. Mencari dalam Al-Qur’an,
b. Bila tidak didapatkan, mencari dalam As–sunah,
c. Bila tidak didapatkan juga, mengambil pendapat yang disepakati oleh ulama Madinah,
d. Bila ulama – ulama tersebut berselisih ambil yang paling kuat,
e. Bila tidak dijumpai pendapat ulama – ulama baru digunakan ra’yu.
3. Motivasi kecenderungan tekstual
a. Motivasi psikologis; hal ini tampak pada kefanatikan para fuqaha Ahli hadist terhadap guru - guru mereka di Mekkah dan Madinah serta kepercayaan terhadap jalan yang ditempuh dalam fiqh.
b. Pusat mazhab ahli hadist adalah Madinah yaitu pusat berkembangnya sunnah dan tempat tinggal sahabat, sehingga para fuqaha Madinah lebih mengetahui dari pada fuqaha di tempat lain.

b. Mazhab Ahlurra’yi
1. Kecenderungan fiqh-nya
Madzhab ini disebut ahli ra’yu karena cenderung mereka banyak menggunakan ra’yu dalam menetapkan hukum. Mereka memiliki pandangan tersendiri terhadap syari’ah islam. Mereka memandangnya sebagai syariat – syariatnya bias masuk akal dan pokok – pokoknya kokoh, bukan syariat baku yang tidak diketahui sasarannya.
2. Langkah dalam pengambilan hukum
a. Mencari dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah,
b. Bila tidak dijumpai, mereka mencari pendapat syeikh mereka, 
c. Bila tidak ada pendapat syeikh mereka, maka mengkonklusifkan hukum atas dasar hikmah hukum atau masalah yang baru timbul,
d. Bila masih tidak ditemukan mereka mengambil hukum atas ketenangan diri mereka yang lebih maslahat.
3. Motivasi kecenderungan terhadap wahyu
a. Motivasi psikologis: dukungan yang besar terhadap syeikh-syiekh mazhab mereka,  
b. Kekurangan bekal hadist yang dimiliki, 
c. Menurut mereka hadist amat sedikit yang tidak terkena cacat.
Titik temu di antara dua kelompok di atas adalah kesamaan sikap mereka dalam mengutamakan Al-Qur’an dan Hadits sebagai hujjah utama. Dan perbedaan yang muncul di antara keduanya adalah tentang masalah di luar kerangka al-Qur’an baik itu dalam penggunaan tafsir serta takwil Al-Qur’an dan mengeluarkan pendapat tentangnya.
Aliran – aliran dalam Ilmu ushul Fiqh
Pasca Ar-Risalah, secara global dapat disimpulkan bahwa para ulama dalam merumuskan kaidah-kaidah ushuliyyah menempuh tiga metode, yaitu metode Mutakallimin, Metode Fuqaha’, dan Konvergensi antara keduanya. 
a. Metode Mutakallimin
Para ulama dalam aliran ini dalam pembahasannya menggunakan cara-cara dalam ilmu kalam yakni menetapkan kaidah-kaidah yang ditopang dengan alasan-alasan yang kuat baik naqli atau aqli tanpa terikat dengan hukum furu’ yang telah ada pada mazhab apapun.kitab-kitab ushul fiqh pada aliran ini. Ulama aliran ini mendasarkan diri pada logika dan dalil naqli. Dan tujuan penulisan kitab-kitab aliran ini adalah agar menjadi acuan standar dalam istinbath, bukan untuk membela fiqh imamnya. Di antara ulama yang termasuk dalam kelompok ini adalah Ulama Mu’tazilah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyah.
Di antara kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini, yaitu : 
1. Kitab Al-Mu'tamad disusun oleh Abdul Husain Muhammad bin Aliy al-Bashriy al-Mu'taziliy asy-Syafi'iy (wafat pada tahun 463 Hijriyah),
2. Kitab Al-Burhan disusun oleh Abdul Ma'aliy Abdul Malik bin Abdullah al-Jawainiy an-Naisaburiy asy-Syafi'iy yang terkenal dengan nama Imam Al-Huramain ( wafat pada tahun 487 Hijriyah),
3. Kitab AI Mushtashfa disusun oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazaliy Asy Syafi’iy ( wafat pada tahun 505 Hijriyah). 
Dan masih banyak literatur lainnya yang muncul setelah itu oleh para ulama aliran ini.
b. Metode Fuqaha’
Para ulama dalam aliran ini, dalam pembahasannya, berangkat dari hukum-hukum furu' yang diterima dari imam-imam (mazhab) mereka; yakni dalam menetapkan kaidah selalu berdasarkan kepada hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam mereka, bahkan terkadang terlalu berlebihan dalam membela imam mereka.
Kitab kitab aliran mereka:
1. Al-Jashshash disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin Aliy (wafat tahun 380 h), 
2. Al-Manar kitab yang disusun oleh Hafidhuddin 'Abdullah bin Ahmad An Nasafiy (wafat pada tahun 790 Hijriyah), dan syarahnya yang terbaik yaitu Misykatul Anwar.

Menurut Abu Zahrah perbedaan yang mendasar antara metode kalam dan Fuqaha adalah terletak pada posisi kaidah – kaidah ushul ulama mazhabnya, yaitu bahwa kaidah-kaidah yang dibangun oleh asy-Syafi’ie adalah kaidah – kaidah umum yang langsung dpat dijadikan acuan atau dikembangakan kedalam masalah furu’. Sedangkan metode fuqaha Hanafiyah, mereka menjadikan fiqh imam mazhabnya sebagai acuan dalam merumuskan kaidah – kaidah ushul.

c. Konvergensi
Metode yang menggabungkan dan mengkombinasikan antara kedua pendekatan. Metode ini juga sering disebut dengan tariqah al-jam’an. Ciri ulama mazhab ini adalah dengan sikapnya yang rasional dan juga kadang tradisional.
Diantara ulama-ulama yang mempunyai ide ini adalah sebagai berikut: Mudhafaruddin Ahmad bin 'Aliy As Sya'atiy Al Baghdadiy (wafat pada tahun 694 Hijriyah) dengan menulis kitab Badi'un Nidham yang merupakan paduan kitab yang disusun oleh Al Bazdawiy dengan kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam yang ditulis oleh Al Amidiy.
Dalam kaitan dengan pembahasan Ilmu Ushul Fiqh ini, perlu dikemukakan bahwa Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy Syatibiy ( wafat pada tahun 760 Hijriyah) telah menyusun sebuah kitab Ilmu Ushul Fiqh, yang diberi nama A1 Muwafaqat. Dalam kitab tersebut selain dibahas kaidah-kaidah juga dibahas tujuan syara' dalam menetapkan hukum. Kitab Ushulul Fiqh oleh Syaikh Muhammad A1 Khudlariy Bak (wafat pada tahun 1345 Hijriyah/ 1927 Masehi).
Pada modern ini ilmu Ushul Fiqh mencapai perkembangan yang gemilang, walaupun demikian masih banyak kritikan oleh para ulama kontemporer yang ingin mengembangkan ilmu ini dan ataupun sengaja ingin mengkritisi karya literatur ataupun buah pemikiran para ulama salaf.