Jumat, 29 Januari 2010

Ushul Fiqh_Sadd Azzari'ah

PENDAHULUAN

Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Metode sadd adz-dzari’ah merupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang –sepanjang pengetahuan penulis–tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari’ah. Sebaliknya, jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.





PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SADDU DZARI’AH
1. Secara Etimologis
Kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ ) dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ) merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع). Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.
Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-dzari’ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.
2. Secara Terminologi
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’). Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
B. KEDUDUKAN SADD ADZ-DZARI’AH
Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd adz-dzari’ah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbath al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd adz-dzari’ah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
a. Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq. Begitu pula Imam asy-Syathibi (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwafaqat.
b. Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.
Contoh kasus penggunaan sadd adz-dzari’ah oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd adz-dzari’ah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.
Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode sadd adz-dzari’ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka atau kredit (buyu’ al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi berjangka, misalnya sebuah showroom menjual mobil secara kredit selama 3 tahun dengan harga Rp. 150 juta kepada seorang konsumen. Setelah selesai transaksi, keesokan harinya sang konsumen membutuhkan uang karena keperluan penting dan mendesak. Ia pun menjual beli mobil itu kepada pihak showroom. Oleh pihak showroom, mobil itu dibeli secara tunai dengan harga Rp. 100 juta.
Transaksi seperti inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena terdapat unsur riba yang sangat kentara. Pada kenyataannya, transaksi jual beli tersebut adalah penjualan mobil secara kredit seharga Rp. 150 juta dan secara tunai seharga Rp. 100 juta. Barang yang diperjualbelikan seolah sia-sia dan tidak bermakna apa-apa.
Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang. Namun mereka menolak menggunakan sadd adz-dzari’ah dalam pelarangan tersebut. Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual tersebut belum jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen yang menjual kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki barang tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi kedua yang dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi yang tidak sah (fasid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba.
Bagi mazhab Syafii, transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara formal. Adapun aspek batin dari niat buruk si penjual untuk melakukan riba, misalnya, adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan maksud si penjual yang tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.
c. Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh). Sementara sadd adz-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd adz-dzariah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.
Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zahiri, bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode sadd adz-dzari’ah dalam kitabnya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam. Ia menempatkan sub pembahasan tentang penolakannya terhadap sadd adz-dzari’ah dalam pembahasan tentang al-ikhtiyath (kehati-hatian dalam beragama). Sadd adz-dzari’ah lebih merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada hal-hal yang dilarang. Konsep sadd adz-dzari’ah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh atau tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa ditetapkan berdasarkan nash dan ijma’ (qath’i). Sesuatu yang telah jelas diharamkan oleh nash tidak bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nash lain yang jelas atau ijma’. Hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan yang kuat dari nash yang jelas atau ijma’. Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan semata.
Contoh kasus penolakan kalangan az-Zhahiri dalam penggunaan sadd adz-dzariah adalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki, perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (dzari’ah) bagi wanita untuk sekedar mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris lain yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang halal.
Meskipun terdapat ketidaksepakatan ulama dalam penggunaan sadd adz-dzari’ah, namun secara umum mereka menggunakannya dalam banyak kasus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, kontroversi di kalangan empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, hanya berpusat pada satu kasus, yaitu jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat mazhab banyak menggunakan sadd adz-dzari’ah dalam menetapkan berbagai hukum tertentu.
Adapun tentang mazhab Zhahiri yang menolak mentah-mentah sadd adz-dzari’ah, hal itu karena mereka memang sangat berpegang teguh pada prinsip berpegang kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua perbuatan harus diputuskan berdasarkan zhahir nash dan zhahir perbuatan. Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual kepada tekstual nash juga bisa berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justru bisa mengabaikan tujuan syariah untuk menghindari mafsadah dan meraih mashalahah. Jika memang mafsadah jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah melewati penelitian ilmiah yang akurat, maka sadd adz-dzari’ah adalah sebuah metode hukum yang perlu dilakukan.
Dengan sadd adz-dzari’ah, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas dihalalkan seperti yang dituding oleh mazhab az-Zahiri. Namun agar tidak disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa pengharaman dalam sadd adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim li ghairih). Secara substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan, namun perbuatan tersebut tetap dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan itu menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu halal.
Terkait dengan kedudukan sadd adz-dzari’ah, Elliwarti Maliki, seorang doktor wanita pertama asal Indonesia lulusan al-Azhar, Kairo, menganggap bahwa sadd adz-dzari’ah merupakan metode istinbath hukum yang mengakibatkan kecenderungan sikap defensif (mempertahankan diri) di kalangan umat Islam. Pada gilirannya, hal ini bisa menimbulkan ketidakberanian umat untuk berbuat sesuatu karena takut terjerumus dalam mafsadah. Di samping itu, produk-produk fikih dengan berdasarkan sadd adz-dzari’ah cenderung menjadi bias gender. Sadd adz-dzariah menghasilkan pandangan ulama yang melarang wanita untuk berkiprah lebih luas di masyarakat, seperti larangan wanita ke luar rumah demi mencegah bercampur dengan lelaki yang bukan mahram.
Sinyalemen Elliwarti Maliki itu mungkin memang ada benarnya. Tapi sebenarnya yang perlu dipersalahkan bukanlah sadd adz-dzari’ah-nya, namun orang yang menerapkannya. Suatu putusan hukum yang berdasarkan sadd adz-dzariah tentu masih bisa dicek kembali bagaimana thuruq al-istinbath-nya. Jika memang dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi tersebut, ternyata tidak terbukti, maka tentu saja keputusan tersebut bisa dikoreksi kembali. Sedangkan tudingan bahwa sadd adz-dzari’ah menimbulkan sikap defensif, tentu perlu pembuktian empirik lebih lanjut.
C. DASAR HUKUM SADD ADZ-DZARI’AH
1. Alquran
              •  •          
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. al-An’am: 108).

Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah).
             
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. (QS. al-Baqarah: 104).

Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina (رَاعِنَا) berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata raa’inan (رَعِنًا) sebagai bentuk isim fail dari masdar kata ru’unah (رُعُوْنَة) yang berarti bodoh atau tolol. Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata raa’ina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adz-dzari’ah.
2. Sunah
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ

Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”

Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd adz-dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd adz-dzari’ah.
3. Kaidah Fikih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari’ah adalah:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah).
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd adz-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.
4. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang telah ditetapkan.”
D. MACAM-MACAM ADZ-DZARI’AH
Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari’ah menjadi empat macam, yaitu:
1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.
2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlil). Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.
3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
3. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.
E. PERBEDAAN ADZ-DZARI’AH DENGAN MUQADDIMAH
Wahbah az-Zuhaili membedakan antara adz-dzari’ah dengan muqaddimah. Beliau mengilustrasikan bahwa adz-dzariah adalah laksana tangga yang menghubungkan ke loteng. Sedangkan muqaddimah adalah laksana fondasi yang mendasari tegaknya dinding.
Dengan demikian, adz-dzariah dititikberatkan kepada bahwa ia sekedar sarana dan jalan untuk mengantarkan kepada perbuatan tertentu yang menjadi tujuannya. Ia bisa menjadi suatu perbuatan terpisah yang berdiri sendiri. Sedangkan muqaddimah dititikberatkan kepada bahwa ia merupakan suatu perbuatan hukum yang memang bagian dari rangkaian perbuatan hukum tertentu. Muqaddimah merupakan perbuatan pendahuluan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian perbuatan. Misalnya, sa’i merupakan sesuatu perbuatan pendahuluan yang diwajibkan dalam rangkaian haji. Sementara itu, haji sendiri merupakan kewajiban.
F. FATHU ADZ-DZARI’AH
Kebalikan dari sadd adz-dzari’ah adalah fath adz-dzari’ah. Hal ini karena titik tolak yang digunakan adalah adz-dzari’ah. Dalam mazhab Maliki dan Hambali, adz-dzari’ah memang ada yang dilarang dan ada yang dianjurkan. Hal ini diungkapkan oleh al-Qarafi yang notabene dari mazhab Malik dan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi yang notabene dari mazhab Hambali. Adz-dzari’ah adakalanya dilarang sehingga pelarangan itu disebut sadd adz-dzari’ah; adakalanya dianjurkan atau diperintahkan sehingga anjuran atau perintah itu disebut fath adz-dzari’ah.
Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan (ibahah), menganjurkan (istihab), maupun mewajibkan (ijab) karena perbuatan tersebut bisa menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau diperintahkan.
Contoh dari fath adz-dzari’ah adalah bahwa jika mengerjakan shalat Jum’at adalah wajib, maka wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan meninggalkan perbuatan lain. Contoh lain adalah jika menuntut ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, maka wajib pula segala hal yang menjadi sarana untuk tercapai usaha menuntut ilmu, seperti membangun sekolah dan menyusun anggaran pendidikan yang memadai.
Namun yang juga harus digarisbawahi adalah bahwa betapapun adz-dzariah (sarana) lebih rendah tingkatannya daripada perbuatan yang menjadi tujuannya. Pelaksanaan atau pelarangan suatu sarana tergantung pada tingkat keutamaan perbuatan yang menjadi tujuannya.
Pembahasan tentang fath adz-dzariah tidak mendapat porsi yang banyak di kalangan ahli ushul fiqih. Hal itu karena fath adz-dzariah hanyalah hasil pengembangan dari konsep sadd adz-dzari’ah. Sementara sadd adz-dzari’ah sendiri tidak disepakati oleh seluruh ulama sebagai metode istinbath hukm. Hal itu karena bagi sebagian mereka, terutama di kalangan ulama Syafi’iyyah, masalah sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah masuk dalam bab penerapan kaidah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu, maka hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan.

Kaidah tersebut berkaitan pula dengan masalah muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama terhadap kedudukan sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Apa yang dimaksudkan adz-dzari’ah oleh ulama Maliki dan Hambali, ternyata bagi ulama Syafi’i adalah sekedar muqaddimah.
G. CARA MENENTUKAN ADZ-DZARIAH
Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa menjadi sarana (adz-dzariah) terjadinya suatu perbuatan lain yang dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu:
1) Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu perbuatan, apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan. Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat bahwa seseorang yang hendak menikahi seorang janda perempuan talak tiga adalah karena sekedar untuk menghalalkan si perempuan untuk dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu harus dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan pernikahan yang digariskan syara’ yaitu demi membina keluarga yang langgeng.
2) Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka perbuatan itu harus dicegah. Misalnya, masalah pemberian hadiah (gratifikasi) yang diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan beberapa peristiwa yang sebelumnya terjadi, seorang pejabat yang mendapat hadiah kemungkinan besar akan mempengaruhi keputusan atau kebijakannya terhadap si pemberi hadiah. Karena itulah, setiap pemberian hadiah (gratifikasi) dalam batasan jumlah tertentu harus dikembalikan ke kas negara oleh pihak KPK.


PENUTUP

Sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzariah adalah suatu perangkat hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-rambu syara’, Keduanya bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa digunakan untuk menciptakan kemaslahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi kepentingan kelompok dan pribadinya.






















DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997).
Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998).
______, al-Mahalli bi al-Atsar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003).
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996).
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt).
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt).
Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994).
Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt).
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987).
Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt).
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986).
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997).
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986).

Macam-macam Hadits

PEMBAGIAN HADITS
Dilihat dari konsekuensi hukumnya:
1. Hadits Maqbul (diterima): terdiri dari Hadits shahih dan Hadits Hasan
2. Hadits Mardud (ditolak): yaitu Hadits dha’if
HADITS SHAHIH:
Yaitu Hadits yang memenuhi 5 syarat berikut ini:
1. Sanadnya bersambung (telah mendengar/bertemu antara para perawi).
2. Melalui penukilan dari perawi-perawi yang adil.Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid’ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik).
3. Tsiqah (yaitu hapalannya kuat).
4. Tidak ada syadz. Syadz adalah seorang perawi yang tsiqah menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya.
5. Tidak ada illat atau kecacatan dalam Hadits
Hukum Hadits shahih: dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.
HADITS HASAN:
Yaitu Hadits yang apabila perawi-perawinya yang hanya sampai pada tingkatan shaduq (tingkatannya berada di bawah tsiqah).
Shaduq: tingkat kesalahannya 50: 50 atau di bawah 60% tingkat ke tsiqahannya. Shaduq bisa terjadi pada seorang perawi atau keseluruhan perawi pada rantai sanad.
Para ulama dahulu meneliti tingkat ketsiqahan seorang perawi adalah dengan memberikan ujian, yaitu disuruh membawakan 100 hadits berikut sanad-sanadnya. Jika sang perawi mampu menyebutkan lebih dari 60 hadits (60%) dengan benar maka sang perawi dianggap tsiqah.
Hukum Hadits Hasan: dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.
HADITS HASAN SHAHIH
Penyebutan istilah Hadits hasan shahih sering disebutkan oleh imam Tirmidzi. Hadits hasan shahih dapat dimaknai dengan 2 pengertian:
1. Imam Tirmidzi mengatakannya karena Hadits tersebut memiliki 2 rantai sanad/lebih. Sebagian sanad hasan dan sebagian lainnya shahih, maka jadilah dia Hadits hasan shahih.
2. Jika hanya ada 1 sanad, Hadits tersebut hasan menurut sebagian ulama dan shahih oleh ulama yang lainnya.
HADITS MUTTAFAQQUN ‘ALAIHI
Yaitu Hadits yang sepakat dikeluarkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim pada kitab shahih mereka masing-masing.
TINGKATAN HADITS SHAHIH
• Hadits muttafaqqun ‘alaihi
• Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Bukhari saja
• Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Muslim saja
• Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim, serta tidak dicantumkan pada kitab-kitab shahih mereka.
• Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari
• Hadits yang sesuai dengan syarat Muslim
• Hadits yang tidak sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim
Syarat Bukhari dan Muslim: perawi-perawi yang dipakai adalah perawi-perawi Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka.
HADITS DHA’IF
Hadits yang tidak memenuhi salah satu atau lebih syarat Hadits shahih dan Hasan. Hukum Hadits dha’if: tidak dapat diamalkan dan tidak boleh meriwayatkan Hadits dha’if kecuali dengan menyebutkan kedudukan Hadits tersebut. Hadits dha’if berbeda dengan hadits palsu atau hadits maudhu`. Hadits dha’if itu masih punya sanad kepada Rasulullah SAW, namun di beberapa rawi ada dha`f atau kelemahan. Kelemahan ini tidak terkait dengan pemalsuan hadits, tetapi lebih kepada sifat yang dimiliki seorang rawi dalam masalah dhabit atau al-`adalah. Mungkin sudah sering lupa atau ada akhlaqnya yang kurang etis di tengah masyarakatnya. Sama sekali tidak ada kaitan dengan upaya memalsukan atau mengarang hadits.
Yang harus dibuang jauh-jauh adalah hadits maudhu`, hadits mungkar atau matruk. Dimana hadits itu sama sekali memang tidak punya sanad sama sekali kepada Rasulullah saw. Walau yang paling lemah sekalipun. Inilah yang harus dibuang jauh-jauh. Sedangkan kalau baru dha`if, tentu masih ada jalur sanadnya meski tidak kuat. Maka istilah yang digunakan adalah dha`if atau lemah. Meski lemah tapi masih ada jalur sanadnya.
Karena itulah para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadits dha`if, dimana sebagian membolehkan untuk fadha`ilul a`mal. Dan sebagian lagi memang tidak menerimanya. Namun menurut Imam An-Nawawi dalam mukaddimahnya, bolehnya menggunakan hadits-hadits dha’if dalam fadailul a’mal sudah merupakan kesepakatan para ulama.
Untuk tahap lanjut tentang ilmu hadits, silakan merujuk pada kitab “Mushthalahul Hadits” buat kita orang-orang yang awam dengan ulumul hadits, tentu untuk mengetahui derajat suatu hadits bisa dengan bertanya kepada para ulama ahli hadits. Sebab merekalah yang punya kemampuan dan kapasitas dalam melakukan penelusuran sanad dan perawi suatu hadits serta menentukan derajatnya.
Setiap hadits itu harus ada alur sanadnya dari perawi terakhir hingga kepada Rasulullah SAW. Para perawi hadits itu menerima hadits secara berjenjang, dari perawi di atasnya yang pertama sampai kepada yang perawi yang ke sekian hingga kepada Rasulullah SAW.
Seorang ahli hadits akan melakukan penelusuran jalur periwayatan setiap hadits ini satu per satu, termasuk riwayat hidup para perawi itu pada semua level / tabaqathnya. Kalau ada cacat pada dirinya, baik dari sisi dhabit (hafalan) maupun `adalah-nya (sifat kepribadiannya), maka akan berpengaruh besar kepada nilai derajat hadits yang diriwayatkannya.
Sebuah hadits yang selamat dari semua cacat pada semua jalur perawinya hingga ke Rasulullah SAW, dimana semua perawi itu lolos verifikasi dan dinyatakan sebagai perawi yang tisqah, maka hadits itu dikatakan sehat, atau istilah populernya shahih. Sedikit derajat di bawahnya disebut hadits hasan atau baik. Namun bila ada diantara perawinya yang punya cacat atau kelemahan, maka hadits yang sampai kepada kita melalui jalurnya akan dikatakan lemah atau dha`if.
Rasulullah SAW, maka hadits ini dikatakan putus atau munqathi`. Dan bisa saja hadits yang semacam ini memang sama sekali bukan dari Rasulullah SAW, sehingga bisa dikatakan hadits palsu atau maudhu`. Jenis hadits yang seperti ini sama sekali tidak boleh dijadikan dasar hukum dalam Islam.

Perlukah Umat Islam Bermazhab? (mempertanyakan kewajiban bermazhab)

BAB I
PENDAHULUAN
Kehidupan seorang muslim tak pernah lepas dari nilai ibadah jika diniatkan untuk Allah, dalam implementasi setiap apa yang ia kerjakan tak pernah luput dari tatanan yang diatur dalam Al-Qur’an dan As-sunnah yang disampaikan oleh Rasulullah baik secara lisan, tulisan, perbuatan, dan keputusan-keputusan yang muncul melalui cara berijtihad beliau.
Islam setelah masa Rasulullah telah berkembang ke berbagai belahan dunia dengan karakteristik daerah yang berbeda-beda. Dalam perkembangannya banyak bermunculan ulama-ulama yang membantu tersebarnya agama Islam. Namun hal tersebut juga berakibat pada perbedaan pendapat yang muncul dikalangan ulama itu sendiri.
Pada taraf ulama tersebut tidak pernah terjadi klaim merekalah yang paling mempunyai kredibilitas yang terbaik. Mereka saling menghormati adanya perbedaan tersebut karena metode-metode yang mereka pakaipun berbeda.
Tapi, pada beberapa abad terakhir terjadilah klaim para pengikut ulama mazhab bahwa apa yang diajarkan oleh ulama utama mereka yang paling benar sesuai dengan Syariat yang digariskan Allah dan yang lebih parah lagi para pengikut ini saling menjelek-jelekkan satu dengan lainnya, padahal apa yang disampaikan oleh Ulama mereka belum tentu adalah yang paling benar walaupun melalui kajian yang amat rumit.
Dari perang urat saraf inilah, bagaimana sikap kita sebagai umat muslim di masa modern ini dituntut untuk kembali mengkaji apa sebenarnya pokok permasalahan yang mendasari adanya perbedaan tersebut.
Semoga dengan pembahasan ini akan membuka pintu hati kita untuk lebih sabar, menghormati orang lain, toleransi dan lebih serius untuk kembali membuka khazanah keilmuan Islam.

BAB II
APAKAH ITU MAZHAB?
Mazhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq).
Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Menurut Muhammad Husain Abdullah, istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.
Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum syariat (fikih), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fikih yang menjadi metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fikih dan ushul fikih menurut Imam Syafi’i.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.”
Perlu diketahui bahwa kebanyakan dalil Quran dan sunnah seringkali menyisakan ruang yang memungkinkan orang berbeda pendapat dalam menyimpulkan konklusi hukumnya. Ini adalah fakta yang tidak terbantahkan, bahkan hal itu bukan hanya dialami oleh kita yang sama saja, tetapi juga terjadi di kalangan para sahabat Nabi.
Tidak jarang para sahabat nabi berbeda pendapat dalam mengambil kesimpulan atas dalil yang sama. Apalagi setelah wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat menyebar ke seluruh wilayah. Mereka menemukan begitu banyak fenomena baru yang sebelumnya tidak pernah mereka dapatkan di masa hidup bersama Rasulullah SAW.
Walhasil, meski pernah sama-sama hidup di bawah naungan didikan nabi, namun tidak ada jaminan mereka selalu punya pandangan sama dalam segala hal.
Apalagi mengingat di masa masih hidupnya nabi SAW sekalipun, para sahabat pun ada di antara para sahabat yang utama dan ada di bawah itu dalam hal berijtihad. Ada di antara mereka yang ahli fiqih tapi juga ada yang awam.
Tentunya semua akan melahirkan perbedaan pandangan hukum. Namun demikian, perbedaan itu tidak berarti perpecahan, apalagi persengketaan. Sama sekali bukan. Sebab perbedaan di kalangan para sahabat itu sangat manusiawi.
Ketika seseorang berpendapat, atau ketika seseorang mengikuti pendapat orang lain yang dianggapnya baik, dia sedang bermazhab. Bedanya dengan mereka yang dianggap bermazhab hanyalah pada sumber mazhabnya.
PESAN – PESAN IMAM MAZHAB
Al-Imam Abu Hanifah mengatakan: “Apabila hadits itu shahih maka itulah madzhabku". Beliau juga mengatakan: “Tidak halal bagi siapapun mengikuti perkataan kami bila ia tidak mengetahui dari mana kami mengambil sumbernya.”
Al-Imam Malik mengatakan: “Saya hanyalah seorang manusia biasa, terkadang berbuat salah dan terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Apabila sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, ambillah; dan sebaliknya apabila tidak sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.” Beliau juga berkata: “Siapapun orangnya, perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi (yang wajib diterima).”
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Seluruh kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang secara jelas mengetahui suatu hadits dari Rasulullah, tidak halal baginya meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang.” Beliau juga berkata: “Bila suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah menurut ahlul hadits, tetapi pendapatku menyelisihinya, maka pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati.”
Al-Imam Ahmad berkata: “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i dan Ats-Tsauri, tetapi ambillah dari sumber yang telah mereka ambil.” Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah, berarti dia berada di jurang kehancuran.”
WAJIB BERMAZHAB VS TAK (WAJIB) BERMAZHAB
Melihat tentang pendapat para ulama di atas kita dapat menyimpulkan bahwa ulama mazhab besar tidak mau apa yang mereka ajarkan adalah sesuatu yang paling benar dari yang lainnya.
Bentuk penghormatan atas pendapat orang lain, toleransi atas apa yang dilakukan orang lain telah membawa mereka dalam keharmonisan yang akhirnya harus dirusak oleh para pengikut mereka, orang – orang yang mengaku-aku bahwa apa yang diajarkan oleh alim mazhab mereka adalah yang paling benar, sedangkan alim mazhab tidak pernah ditemukan kewajiban mengikuti mereka.
Terus kemudian mengapa harus ada statement yang muncul untuk adanya kewajiban bermazhab pada mazhab tertentu, apa sebenarnya melatarbelakangi munculnya kewajiban tersebut?.
Orang-orang yang berangkat untuk mewajibkan mengikuti mazhab tertentu adalah mereka yang berangkat dari satu kaidah ushul Fiqh “ Ma la Yatimmu-l-Wajib illa bihi fahuwa wajibun” yang artinya “apa-apa yg mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, maka wajib hukumnya”. Yakni dalam pemahaman bahwa seorang muslim apabila mengerjakan amalan ibadah wajib maka hokum untuk mengikuti salah satu mazhab juga wajib karena mazhab di anggap sebagai perantara untuk melaksanakan ibadah yang wajib tersebut.
Ada pula pendapat tentang hal diatas, pendapat ini berangkat dari pemikiran bahwa imam mazhab telah memiliki metodologi tersendiri dalam membangun mazhab. Dan semua pendapatnya itu berangkat dari metodologi yang telah disusunnya, bukan sekedar pendapat yang bermunculan secara tiba-tiba.
Dengan demikian maka pendapat-pendapat yang bersumber dari satu mazhab tertentu lahir dari sebuah proses yang teratur dan memiliki pola istinbath yang konsisten. Sehingga bila berpindah-pindah mazhab akan mengakibatkan ketidak-konsistenan dalam metodologi. Menurut pendukung pendapat ini, seseorang harus konsisten dalam metodologi mazhab.
Ada juga pendapat tentang pewajiban mengikuti salah satu mazhab untuk kalangan khas yaitu yang tidak berkemampuan dari segi akalnya, seperti bodoh, kurang siuman (tetapi tidak gila), kekacatan dari kesempurnaan akal dan lain-lain. Termasuk juga seseorang yang jauh dari sumber ilmu dan masyarakat Islam seperti orang asli di pendalaman atau siapa saja yang baru memeluk Islam. Juga termasuk kanak-kanak yang baru belajar atau orang yang baru bertaubat. Bagi mereka sewajibnya mengikuti seseorang karena tidak ada jalan lain bagi mereka untuk beribadah yang selamat dari kesesatan atau meninggalkan agama sama sekali.
Adapun pendapat yang tidak mewajibkan bermazhab berlandasan yang jelas dari pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama mazhab yang secara eksplisit menyebut bahwa pendapat mereka bisa saja berubah jika ada dalil yang lebih kuat dari pendapat mereka. Sebagai penekanan mereka menegaskan bahwa Allah dan Rasulullah tidak pernah mewajibkan umat muslim untuk mengikuti salah satu mazhab.
Maka tidak pada tempatnya bila kita saat ini membuat kotak-kotak sendiri dan mengatakan bahwa setiap orang harus berpegang teguh pada satu pendapat saja dan tidak boleh berpindah mazhab. Bahkan pada hakikatnya, setiap mazhab besar yang ada itupun sering berganti pendapat juga.
Lihatlah bagaimana dahulu Al-Imam Asy-Syafi’i merevisi mazhab qadim-nya dengan mazhab jadid. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang masih menggantungkan pendapat kepada masukan dari orang lain. Misalnya ungkapan paling masyhur dari mereka adalah: Apabila suatu hadits itu shahih, maka menjadi mazhabku.
Itu berarti seorang imam bisa saja tawaqquf atau memberikan peluang berubahnya fatwa bila terbukti ada dalil yang lebih kuat. Maka perubahan pendapat dalam mazhab itu sangat mungkin terjadi. Bila di dalam sebuah mazhab bisa dimungkinkan terjadinya perubahan fatwa, maka hal itu juga bermakna bahwa bisa saja seorang berpindah pendapat dari satu kepada yang lainnya.
Menurut para pendukung pendapat ini, seseorang boleh mengikuti pendapat yang berbeda dari beragam mazhab. Karena tidak ada perintah untuk berpegang tegus kepada satu orang mujtahid saja. Ketika seseorang bermazhab tertentu seperti Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi`iyyah atau pun Al-Hanabilah, maka pada suautu masalah tertentu boleh saja dia tidak sepakat dengan pendapat mazhabnya. Hal seperti itu lazim terjadi dan sama sekali tidak ada larangan.
Allah sendiri tidak pernah mewajibkan seseorang untuk betaqlid pada mujtahid tertentu. Kalaupun ada perintah, maka Allah memerintahkan seseorang untuk bertanya kepada ahli ilmu secara umum.
Pada beberapa tahun yang silam di Jepang, tepatnya di Tokyo diadakan konferensi Islam. Dalam acara itu ada seorang yang menanyakan bagaimana hukumnya bermazhab, apakah wajib bagi seseorang untuk mengikuti salah satu mazhab yang empat. Pada kesempatan itu tampil syaikh Muhammad Sulthan Alma'sumi Al Khajandi, seorang pengajar di Masjidil Haram Makkah. Beliau menyerukan kaum muslimin untuk kembali kepada yang pernah dilakukan oleh umat yang terbaik yaitu para sahabat. Beliau menyeru untuk tidak bertaqlid buta (fanatik) pada salah satu mazhab tertentu. Akan tetapi dipersilahkan mengambil dari tiap mujtahid atau ahli ijtihad dengan berdasarkan pada Alqur'an dan sunnah sebagai rujukan. Sebab sebenarnya mazhab-mazhab adalah pendapat dan pemahaman orang-orang berilmu dalam beberapa masalah. Pendapat, ijtihad dan pemahaman ini tidak diwajibkan oleh Allah dan rasul-Nya untuk mengikutinya. Karena di dalamnya terdapat kemungkinan betul dan salah. Karena tidak ada pendapat yang seratus persen benar kecuali yang berasal dari Rasulullah SAW.
Sementara itu mengikuti salah satu mazhab yang empat atau lainnya bukanlah persoalan wajib atau sunnah. Seorang muslim tidak diharuskan mengikuti salah satunya. Dan bahkan orang yang mengharuskan untuk mengikuti salah satunya sebenarnya ia seorang fanatik.
Lain lagi pendapat Syekh Ramadlan Al Buthi dalam bukunya "Alla Mazhabiyyah , Akhtharu bida'in fil Islam" (Tidak bermazhab adalah bid'ah paling berbahaya dalam Islam). Beliau berpendapat wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti salah satu mazhab yang masyhur (mazhab empat). Sebab mazhab-mazhab itu sudah teruji kevalidannya. Namun kendati begitu tidak boleh bagi yang telah mengikuti salah satu mazhab tertentu menyalahkan orang di luar mazhabnya.
Dalam buku tersebut beliau membagi kaum muslimin sekarang menjadi dua golongan. Golongan muttabi' dan golongan muqallid. Orang yang telah faham (mengerti) Alqur'an dan sunnah wajib mengikuti mazhab tertentu sebagai kerangka berfikir, supaya ia tidak jatuh pada kesalahan. Golongan inilah yang disebut muttabi' Sementara orang yang belum faham terhadap Alqur'an dan sunnah diharuskan mengikuti ulama yang dianggap mengerti dalam masalah agama. Golongan yang kedua ini disebut muqallid. Secara implisit beliau meniadakan kelompok yang ketiga, yaitu kelompok mujtahidin. Dengan kata lain beliau menutup pintu ijtihad untuk masa sekarang. Inilah yang kemudian ditentang oleh Muhammad Abu Abbas dalam bukunya "Al mazahibul muta'ashshabah hiyal bid'ah aw bid'atut ta'ashshubi al Mazhabi" Beliau berpendapat justru pintu ijtihad masih terbuka sampai sekarang dengan alasan Nabi telah membuka pintu ijtihad ini dan beliau tidak pernah menutupnya. Karenanya tidak ada seorangpun yang berhak untuk menutup pintu ijtihad tersebut.
Oleh karena itu Muhammad Abu Abbas membagi kaum muslimin pada tiga golongan, yaitu: Mujtahid, muttabi dan muqallid. Bagi mereka yang telah mampu untuk mengetahui dan mengkaji hukum-hukum langsung dari Alqur'an dan Sunnah walaupun hanya dalam masalah tertentu maka haram baginya bertaklid dalam masalah tersebut (golongan mujtahid). Sedangkan bagi mereka yang hanya mampu untuk mengkaji pendapat-pendapat para ulama serta mengetahui metode istinbath (pengambilan hukum) mereka dari Alqur'an dan sunnah maka kewajiban mereka adalah 'ittiba'. Jelasnya ittiba' -mengutip perkataan Abu Syamah- adalah mengikuti pendapat seorang ulama lantaran nyata dalilnya dan shah mazhabnya."
Adapun bagi orang yang betul-betul awam (tidak mengerti dalam masalah agama) BOLEH bagi mereka bertaklid dengan syarat, -sebagaimana dikatakan Imam Asysyatibi dalam ali'tishom- (1) Tidak boleh bertaklid kecuali pada orang yang benar-benar ahli di bidang agama. (2) Tidak boleh mengikat dirinya serta menutup dirinya dari mengikut selain mazhabnya, jika telah jelas padanya bahwa pendapat mazhabnya itu salah, maka wajib baginya mengikuti yang telah jelas kebenarannya.
Pendapat yang terahir inilah yang wasath (pertengahan). Sebab mengharamkan taklid secara mutlak adalah menafikan mereka yang benar-benar awam terhadap agama. Sedangkan mewajibkan taklid dan menutup pintu ijtihad berarti menghilangkan universalitas Islam yang senantiasa relevan dan responsive terhadap perkembangan zaman. Padahal banyak hal-hal baru yang tidak bisa dijawab dan disikapi kecuali dengan ijtihad. Jelasnya setiap orang perlu ditempatkan sesuai dengan kemampuan dan kondisinya.
Berarti fenomena bermadzhab adalah sesuatu yang perlu dilihat berdasarkan kondisi orang per-orang, yang tentunya tidak bisa digeneralisir. Tidak bisa diharuskan secara mutlak dan tidak bisa dilarang secara mutlak pula.
Berkaitan dengan masalah bermazhab ini ada dua hal yang perlu dijauhi oleh setiap muslim:
1. Fanatisme (ta'ashshub) terhadap suatu madzhab tertentu seraya memonopoli kebenaran apalagi jika sampai menimbulkan perpecahan. Sebab setiap orang kecuali nabi memiliki potensi untuk salah, walaupun ia seorang mujtahid. Karenanya Rasul bersabda : "Barang siapa berijtihad dan ia benar maka baginya dua pahala, dan barang siapa berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala."
2. Tatabbu' rukhas atau mencari-cari pendapat para ulama yang paling mudah dan sesuai dengan seleranya. Perilaku seperti ini berarti mempermainkan agama. Sebab ia menggunakan dalih agama untuk memperturutkan hawa nafsunya.
SIKAP MUSLIM TERHADAP MAZHAB
Mazhab yang berkembang saat ini ada 4 mazhab besar, mazhab tersebut telah melewati perjalanan yang cukup panjang sehingga masih eksis sampai saat ini. Keeksisan mazhab-mazhab ini tidak lain dipengaruhi oleh adanya konsistensi para pengikutnya untuk melaksanakan apa yang difatwakan oleh imam mazhab mereka.
Fatwa adalah sebuah pendapat, dan pendapat akan muncul sesuai dengan kemampuan keilmuan dari orang yang mengeluarkan fatwa yang tak lain adalah produk manusia setelah memahami apa yang disampaikan Allah melalui Rasul-Nya. Karena fatwa merupakan produk manusia, maka tidak sepantasnya seorang mengagung-agungkan mazhab yang ia peluk untuk merendahkan mazhab lain yang berseberangan karena produk manusia selalu bersifat relative.
Mazhab merupakan kumpulan pendapat oleh seorang alim untuk mempermudah para muridnya mempelajari Islam. Namun tetap harus digarisbawahi bahwa pendapat manusia adalah selalu bernilai relative tergantung pada tempat dan waktu.
Bagi muslim yang sudah mengerti tentang Islam sekali lagi dengan penegasan tak pelak untuk melakukan pemaksaan mengikuti salah satu mazhab, namun bagi muslim pemula maka demi kemudahan dan kemaslahatan di kemudian hari maka diperbolehkan baginya untuk belajar satu mazhab dari beberapa mazhab yang ada dengan catatan tanpa mengenyampingkan adanya mazhab lain yang mungkin pendapatnya berseberangan dengan mazhab yang ia pelajari. Sehingga ketika seorang muslim pemula mau memahami perbedaan yang ada, tidaklah akan timbul fanatisme berlebihan yang bersifat destruktif.

PENUTUP
Mazhab, merupakan kumpulan metode dan hasil pandangan ulama pada hal-hal yang menjadi tuntunan dalam menjalankan ibadah umat Muslim tetapi dengan berbagai cara atau metodologi yang berbeda maka hasil pendapat setiap alim berbeda satu dengan lainnya.
Hal tersebut tidaklah menjadi masalah yang perlu untuk diperdebatkan terlalu panjang karena perdebatan dalam hal ini hanya memecah belah umat Islam, karena ketika kita membandingkan pendapat satu dengan yang lainnya maka titik temu diantara hanya dalam beberapa hal, selainnya banyak pertentangan yang ditemui kemudian.
Bermazhab ataupun tak bermazhab bukanlah sebuah esensi dalam pelaksanaan ibadah. Mazhab adalah sebuah fasilitas bagi seorang muslim yang mempermudah dalam melaksanakan ibadah bagi para pemula. Namun bagi mereka yang telah paham agama, mazhab merupakan sarana untuk diteliti guna kepentingan amaliyah yang ilmiah dengan benrsandar pada dalil yang paling kuat.
Maka, sebagai akademisi sikap yang harus kita ambil adalah mengkaji, membandingkan, serta mengkritisi hasil pemikiran para ulama mazhab yang kemudian kita mengambil mana yang lebih kuat untuk dijadikan panduan pelaksanaan ibadah karena saat ini bukanlah waktu untuk bersengketa mempertahankan yang tidak 100% benar, namun waktu untuk kembali mengkaji mana diantara dalil yang paling kuat untuk dijadikan panduan pelaksanaan ibadah.

DAFTAR PUSTAKA

• ‘Awwamah, Muhammad. Melacak Akar Perbedaan Mazhab. Cet. 1, 1978. Bandung; Pustaka Hidayah.
• Benarkan Orang Awam Wajib Bertaqlid. wiemasen.com.
• Sejarah Mazhab dan Hukum Bermazhab. WebGaul.com Forum

Agama Hindu*

Sejarah Agama Hindu
Agama Hindu adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran. Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM bersamaan dengan masuknya suku bangsa Arya (Indo German) ke India Utara. Mereka mula-mula menduduki daerah sungai Indus, yang kemudian bercampur dengan penduduk asli yang terdiri dari suku bangsa Dravida dan lainnya yang mendiami bagian India Utara. Pertemuan dua suku bangsa ini membawa pengaruh sinkretisme yang akhirnya membentuk Agama Hindu.
Bentuk sinkretisme dalam agama Hindu dapat ditelusuri dari kebudayaan yang di bawa suku Arya dan suku Dravida. Bentuk kepercayaan dewa-dewa alam adalah kepercayaan suku Arya yang dipengaruhi banyak oleh kebudayaan Yunani. Sedangkan kepercayaan suku asli India Utara banyak tertuang dalam bentuk hal-hal gaib yang berbentuk animisme, dynamisme, serta fetisyisme.
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa Hindu berasal dari India. Hindu merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 milyar jiwa.
Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak benua India. Di sini terdapat sekitar 90% penganut agama ini. Agama ini pernah tersebar di Asia Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa keruntuhan Majapahit. Mulai saat itu agama ini digantikan oleh agama Islam dan juga Kristen. Pada masa sekarang, mayoritas pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali, selain itu juga yang tersebar di pulau Jawa, Lombok, Kalimantan (Suku Dayak Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis - Sidrap).
Konsep Ketuhanan
Salah satu bentuk penerapan monoteisme Hindu di Indonesia adalah konsep Padmasana, sebuah tempat sembahyang Hindu untuk memuja Brahman atau "Tuhan Sang Penguasa".
Agama Hindu merupakan agama tertua di dunia dan rentang sejarahnya yang panjang menunjukkan bahwa agama Hindu telah melewati segala paham ketuhanan yang pernah ada di dunia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh para sarjana, dalam tubuh Agama Hindu terdapat beberapa konsep ketuhanan, antara lain henoteisme, panteisme, monisme, monoteisme, politeisme, dan bahkan ateisme. Konsep ketuhanan yang paling banyak dipakai adalah monoteisme (terutama dalam Weda, Agama Hindu Dharma dan Adwaita Wedanta), sedangkan konsep lainnya (ateisme, panteisme, henoteisme, monoisme, politeisme) kurang diketahui. Sebenarnya konsep ketuhanan yang jamak tidak diakui oleh umat Hindu pada umumnya karena berdasarkan pengamatan para sarjana yang meneliti agama Hindu tidak secara menyeluruh.
Namun, walaupun begitu masih ada pendapat lain yang menerangkan bahwa dalam ajaran Hindu secara pokok-pokoknya dapat diketahui bahwa agama Hindu menganut konsepsi ketuhanan yang bersifat polytheistis yang dimanifestasikan dalam jumlah dewa-dewa yang disebutkan dalam dalam kitab-kitab Wedha sebanyak 32 orang dewa. Namun pada intinya tetap bahwa dewa-dewa tersebut berfungsi sebagai tokoh simbolis dari satu dewa pokok ( Tuhan ) yaitu Brahma. Dan perlu diketahui bahwa sesungguhnya masyarakat di Bali hanya memuja satu Tuhan yg disebut “IDA SANG HYANG WIDI WASA”, tetapi biasanya mereka mempunyai sebutan atau nama-nama tuhan berdasarkan fungsiNya masing-masing, maka muncullah nama dewa-dewa yang berbeda.
Dalam perjalanannya konsep ketuhanan, Hindu mengalami perkembangan sejalan dengan kehendak/kebutuhan masyarakat yang akhirnya muncul aliran Vedanta yang perpaham Trimurti dengan memunculkan 3 nama dewa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Tidak hanya itu, jumlah dewa pun juga bertambah dengan bertambahnya dengan bertambahnya umur agama Hindu dan semakin banyaknya muncul aliran-aliran atau sekte-sekte dalam agama ini.


Kitab suci yang dipegang
Ajaran agama dalam Hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra suci keagamaan yang disusun dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad, yang mana di dalamnya memuat nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma. Di antara susastra suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua dan lengkap yang ditulis secara bertahap yaitu :
1. Reg Wedha, berisi kumpulan nyanyian-nyanyian suci untuk pemujaan dewa-dewa yang disebut Samhita.
2. Yajur Wedha, berisi rumus-rumus upacara kurban
3. Sama Wedha, berisi melodi-melodi atau hymne-hymne yang dinyanyikan oleh pendeta-pendeta yang bertugas dalam upacara pemujaan dan kurban.
4. Atharwa Wedha, berisi rumusan mantra-mantra yang mengandung kekuatan ghaib yang baik dan jahat.
Keempat kitab tersebut disebut "Caturweda Samhita". Selain keempat Weda tersebut, Selain kitab-kitab Wedha ada Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu adalah Tantra, Agama dan Purana serta kedua Itihasa (epos), yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut sebagai ringkasan dari Weda.
Hindu meliputi banyak aspek keagamaan, tradisi, tuntunan hidup, serta aliran/sekte. Umat Hindu meyakini akan kekuasaan Yang Maha Esa, yang disebut dengan Brahman dan memuja Brahma, Wisnu atau Siwa sebagai perwujudan Brahman dalam menjalankan fungsi sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta.
Secara umum, pustaka suci Hindu dibagi menjadi dua kelompok , yaitu kelompok kitab Sruti dan kelompok kitab Smerti.
• Sruti berarti "yang didengar" atau wahyu. Yang tergolong kitab Sruti adalah kitab-kitab yang ditulis berdasarkan wahyu Tuhan, seperti misalnya Weda, Upanishad, dan Bhagawadgita. Dalam perkembangannya, Weda dan Upanishad terbagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil, seperti misalnya Regweda dan Upanishad. Kitab Weda berjumlah empat bagian sedangkan kitab Upanishad berjumlah sekitar 108 buah.
• Smerti berarti "yang diingat" atau tradisi. Yang tergolong kitab Smerti adalah kitab-kitab yang tidak memuat wahyu Tuhan, melainkan kitab yang ditulis berdasarkan pemikiran dan renungan manusia, seperti misalnya kitab tentang ilmu astronomi, ekonomi, politik, kepemimpinan, tata penjabaran moral yang terdapat dalam kitab Sruti.
Ritual Ibadah
Menurut G.A Wilkens : “Dasar upacara kurban adalah pemujaan dewa-dewa, roh nenek moyang dan makhluk-makhluk halus yang menempati semesta alam untuk menghindari kemarahannya serta memberi kepuasan pada mereka sehingga mereka mau memberi bantuan kepada manusia”.
Upacara-upacara yang ditetapkan dalam kitab-kitab pedoman agama Hindu yaitu kitab Sutra sebaga tafsir dari kitab Brahmana yang terdiri dari 2 macam kitab sebagai berikut :
1. Srautra sutra : berisi petunjuk-petunjuk upacara kurban yang wajib dikerjakan oleh raja-raja yang dibagi menjadi 3 macam :
a. Raja Surya adalah upacara dalam pelantikan raja naik tahta.
b. Aswaweda adalah kurban kuda yang harus dilakukan sekali setahun.
c. Purushaweda adalah kurban manusia yang diberikan kepada raja, upacara ini sudah dihapuskan.
2. Gerha sutra : berisi tatacara kurban untuk setiap keluarga yang terdiri dari :
a. Nitya yaitu kurban yang wajib dilakukan setiap hari oleh kepala keluarga terhadap roh-roh nenek moyang.
b. Naimittika adalah kurban yang hanya dilakukan sekali seumur hidup yaitu ketika kelahiran, pemberian nama, dan lain-lain.
c. Upanayana adalah upacara memasuki kasta dengan pemberian upavita (tali kasta) pada umur 8 – 12 tahun.
Dari segi nilai kurban-kurban tersebut dapat dibagi lagi menjadi 2 jenis upacara yaitu :
1. Yaynya besar adalah kurban-kurban yang terdiri dari 2 macam :
a. Somayajna adalah kurban yang dilakukan oleh raja-raja sebagai yang diberikan petunjuknya dalam Srautra sutra
b. Haviryajna adalah kurban-kurban yang terdiri daripada upacara penghormatan pada masa memetik buah yang pertama kali. Kurban yang disajikan berupa ternak, barang-barang berharga, uang dan lain-lain.
2. Yaynya kecil upacara yang tergolong dalam Gerhasutra
Kehidupan setelah Mati
Kepercayaan dalam Hindu bahwa orang yang telah meninggal dunia rohnya tidak lenyap begitu saja, tetapi tetap hidup mengembara di alam lain. Maka dari itu, roh-roh tersebut senantiasa harus diberi saji-sajian antara lain berupa makanan. Saji-sajian itu diberikan pada saat tertentu setiap hari setelah pembakaran mayat sampai keturunan yang ke enam dari orang yang telah meninggal dunia.
Dalam hal ini, C. Hupe mengatakan “ kepercayaan kepada roh-roh halus atau hal-hal gaib termasuk “bijgeloef” (kepercayaan tambahan) sedangkan upacara untuk dewa-dewa termasuk goddienst atau ibadah pokok.
Fungsi dari saji-sajian kepada roh-roh adalah untuk mengantarkan mereka bersatu dengan roh-roh nenek moyang yang meninggal jauh sebelumnya. Karena agama Hindu percaya bahwa roh yang belum berkumpul dengan roh-roh nenek moyang maka roh tersebut belum dalam keadaan tenang dan masih berbentuk preta yang sering mendatangkan gangguan kepada keluarga yang bersangkutan.
Berhubungan dengan kematian, menurut kepercayaan agama Hindu harus diadakan upacara-upacara tertentu dibawah pimpinan pendeta, sepert apa yang dilakukan masyarakat Hindu Dharma di Bali diadakan pembakaran mayat “NGABEN” yang upacara ini termasuk upacara yang sangat mewah, sedangkan Hindu India, upacara pembakaran mayat dilakukan sederhana yaitu setelah mayat dibakar kemudian abu dari mayat tersebut ditebarkan di sungai Gangga atau tulang-tulangnya dikumpulkan dan kemudian disimpan dalam belanga.
Dalam upacara kematian inilah tampak pentingnya Dewa Agni sebagai penolong roh-roh orang yang telah meninggal, karena tanpa adanya api pembakaran jasad mayat berarti roh tidak akan mengalami kebebasan dari alam materi ini yang berarti sebuah penderitaan hidup.
Waktu dan Tempat yang disucikan
Sebagai agama yang muncul dari sinkretesisme budaya suku Arya yang berkeyakinan dengan bentuk dewa-dewa sebagai perwujudan tuhan dan Dravida yang banyak percaya dengan di India utara, maka banyaklah muncul hari-hari yang disucikan sebagai bentuk penghormatan terhadap dewa-dewa yang diisi dengan upacara-upacara keagamaan serta pensucian dari tempat-tempat seperti pohon besar, tempat ibadah, pura sebagai tempat tinggal dari roh-roh nenek moyang leluhur mereka.
Kepercayaan Hindu ini membawanya terlihat agama paling sibuk dengan kegiatan keagamaan karena hampir setiap hari ada pemujaan dewa atau pun saji-sajian bagi leluhur di tempat-tempat yang mereka sucikan.
Nabi atau orang yang dihormati
Weda merupakan kitab suci yang menjadi sumber segala ajaran agama Hindu. Weda merupakan kitab suci tertua di dunia karena umurnya setua umur agama Hindu. Weda berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata vid yang berarti "tahu". Kata Weda berarti "pengetahuan". Para nabi yang menerima wahyu Weda jumlahnya sangat banyak, namun yang terkenal hanya tujuh saja yang disebut Saptaresi . Ketujuh nabi tersebut yakni:
1. Resi Gritsamada
2. Resi Wasista
3. Resi Atri
4. Resi Wiswamitra
5. Resi Wamadewa
6. Resi Bharadwaja
7. Resi Kanwa
Ayat-ayat yang diturunkan oleh Tuhan kepada nabi-nabi tersebut tidak terjadi pada suatu zaman yang sama dan tidak diturunkan di wilayah yang sama. Resi yang menerima wahyu juga tidak hidup pada masa yang sama dan tidak berada di wilayah yang sama dengan resi lainnya, sehingga ribuan ayat-ayat tersebut tersebar di seluruh wilayah India dari zaman ke zaman, tidak pada suatu zaman saja. Agar ayat-ayat tersebut dapat dipelajari oleh generasi seterusnya, maka disusunlah ayat-ayat tersebut secara sistematis ke dalam sebuah buku. Usaha penyusunan ayat-ayat tersebut dilakukan oleh Bagawan Byasa atau Krishna Dwaipayana Wyasa dengan dibantu oleh empat muridnya, yaitu: Bagawan Pulaha, Bagawan Jaimini, Bagawan Wesampayana, dan Bagawan Sumantu.
Hari-hari besar
Di India seperti halnya umat Hindu di Indonesia mengenal banyak hari-hari besar keagamaan atau hari raya yang seluruhnya dapat dibedakan menjadi tiga 3 kelompok , yaitu : Pertama, hari-hari pesta keagamaan (festivals) yang dilakukan dengan meriah, seperti Chitrra Purinima, Durgapuja atau Navaratri, Dipavali, Gayatri Japa, Guru Purnima. Holi , Makara Sankranti, Raksabandha, Vasanta Panchami dan lain-lain. Kedua, adalah hari peringatan kelahiran tokoh-tokoh suci yang disebut Jayanti atau Janmasthani seperti Ganesa Caturti, Gita Jayanti, Valmiki Jayanti, Hanuman Jayanti, Krisna Janmasthani, Sankara Jayanti, Ramanavami dan lain-lain dan ketiga adalah hari untuk melaksanakan Brata(Vrata) atau Upavasa(Puasa) misalnya Sivaratri, Satyanarayana Vrata, Vara Laksmi Vrata, Ekadasi dan lain-lain.
Hari raya keagamaan bagi pemeluk agama Hindu Dharma mayoritas di Indonesia, umumnya dihitung berdasarkan wewaran dan pawukon. Kombinasi antara Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Namun ada pula Hari raya yang menggunakan penanggalan Saka.
Hari Raya Berdasarkan Wewaran
• Galungan — Jatuh pada hari: Buda, Kliwon, Dungulan
• Kuningan — Jatuh pada: Saniscara, Kliwon, Kuningan
• Saraswati — Jatuh pada: Saniscara, Umanis, Watugunung. Hari Ilmu Pengetahuan, pemujaan pada Sang Hyang Aji Saraswati.
• Banyupinaruh — Jatuh pada: Redite, Pahing, Shinta
• Pagerwesi
Hari Raya Berdasarkan Kalender Saka
• Siwaratri
• Nyepi
Perkembangan Kontemporer
Sejarah mencatat bahwa agama Hindu pernah mencapai masa kejayaannya. Baik itu di dunia maupun masa kejayaan Hindu di Nusantara pada masa kerajaan Majapahit. Sisa-sisa kejayaan itu masih bisa kita temui sampai sekarang dan bahkan dilestarikan sebagai kekayaan budaya Indonesia bahkan dunia.
Namun jika kita lihat sekarang di Indonesia bahkan di dunia persebaran Hindu terbatas pada domisili-domisili tertentu, seperti halnya di Indonesia Hindu mayoritas dianut oleh mayoritas masyarakat Bali, begitu pula di luar Indonesia persebaran hanya di sebagian besar kawasan India sebagai tempat kelahiran agama Hindu.
Kemunduran Hindu akhir-akhir ini banyak dipengaruhi oleh beberapa hal yang berasal dari internal Hindu, maupun eksternal, antara lain adalah sebagai berikut :
a. Internal
1. Adanya perbedaan penafsiran kitab-kitab weda oleh elite agama yang berbeda
2. Adanya paham kasta yang membatasi pergaulan antar umat beragama, walaupun sudah diketahui bahwa ajaran kasta ini tidak ditemukan di setiap kitab suci umat Hindu
3. Kepercayaan terhadap hal-hal ghaib yang sudah dianggap sebagai kepercayaan kuno atau bisa disebut tidak rasional.
4. Sistem dakwah Hindu tidak kegencar yang dilakukan oleh agama-agama lain di dunia. Karena Hindu tidak memaksakan kepercayaan yang dianutnya untuk dianut oleh orang lain. Sehingga jarang ditemukan bentuk-bentuk dakwah inovatif di kalangan umat Hindu.
b. Eksternal
1. Masalah Ekonomi
a) Pura tempat yang disucikan banyak dikomersialisasikan
b) Tradisi yang mulai berubah karena desakan ekonomi
2. Munculnya Agama-agama lain
a) Munculnya Islam di tanah jawa telah mengakibatkan kerajaan Hindu Jawa mengalami kemunduran.
b) Proses kristenisasi memasuki ranah agama Hindu.
Hal-hal diatas menunjukkan beberapa penyebab yang berakibat pada menurunnya kuantitas pemeluk agama Hindu di Indonesia, dan bahkan di dunia. Hal ini diperparah dengan ulah para penganut Hindu dengan membuat sekte-sekte yang jumlahnya sampai sekarang belum bisa dideteksi secara ilmiah. Diantara sekte-sekte tersebut adalah :
1. Sekte Vedanta dengan konsep Objek pemujaan adalah Brahman (Tuhan) sedangkan subjek adalah Atman (manusia), Brahman dan Atman terpisah oleh samsara. Ketika manusia masih terikat dengan materi dan jasmani maka mereka akan mengalami samsara (penderitaan).
2. Sekte Sankya berpaham Ahteistis. Berpendapat segala yang maujud terdiri dari Purusha dan Pakerti, segala penderitaan akan hilang ketika Pakerti terlepas dari Pususha.
3. Aliran Yoga, aliran ini mementingkan metode untuk mencapai tujuan. Dari pada itu maka dalam aliran ini diajarkan latihan-latihan kejiwaan dalam usaha melepaskan diri dari samsara.
4. Sekte Jainisme. Inti ajarannya adalah mendapatkan kebahagiaan abadi. Dan salah satu caranya adalah dengan melepaskan diri dari kungkungan materi.
5. Sekte Wisnuisme
6. Sekte Siwaisme
7. Sekte Brahmaisme
8. Sekte Tantrisme
9. Agama Hindu Bali (Hindu Dharma)
Ajaran agama Hindu Dharma sangat terlihat merupakan hasil sinkretisme antara paham animism setempat dengan Hinduisme India dan antara Siwaisme dan Budhisme yang telah mengalami proses rohaniyah typis Jawa. Prinsip Hinduisme-Budhisme masih tetap di pertahankan dalam agama ini sehingga dewa-dewa yang dipuja pun berpusat pada Trimurti atau Trisakti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Masih ada lagi dewa-dewa lain yang muncul dari paham Hinduisme-Budhisme missal dewa Ganesha, Kama dan Ratih, Bregu, Skanda, Kuwera, dan Bayu.;
Ada 3 bentuk macam upacara kurban dalam Hindu Dharma:
a) Tawur Agung, korban yang dilaksanakan setahun sekali
b) Tawur Panca Wali Krama, korban yang dilakukan 10 tahun sekali.
c) Tawur Ekadasa Rudra yaitu korban yang diadakan setiap 100 tahun sekali.
Tujuan dari Tawur adalah mengadakan instrospeksi terhadap segala perbuatan rakyat Bali yang dalam tingkah laku tak lupusa dari kesalahan, pengharapan prospeksi untuk memperoleh keselamatan hidup di bawah perlingdungan dewa Siwa.
Dalam konsep ketuhanan dalam Hindu Dharma tidak boleh disebut bahwa Hindu Dharma berpaham polytheisme namun sebaliknya Hindu Dharma berpaham monotheisme sesuai dengan yang disebut dalam kita Wedha yang berbunyi “Ekam Eva Adwityam Brahman” yang artinya “Hanya Satu tiada duaNya yaitu Brahman”.
Namun meskipun begitu, Tuhan dapat dimanifestasikan dalam bermacam-macam nama menurut sifat-sifat kekuasaan yang ada padaNya.
Dan perlu diketahui bahwa semboyan “Bhineka Tunggal Ika, tan hana Dharma mergwa” berarti “Berbeda-beda tetapi satu, tidak ada Dharma yang lain”.
Hindu Dharma mempunyai 5 keyakinan mutlak :
1. Kepercayaan kepada Syang Hyang Widhi
2. Kepercayaan terhadap atma (roh leluhur)
3. Kepercayaan dengan hokum karma phala
4. Kepercayaan terhadap samsara
5. Kepercayaan terhadap Mokhsa
Agama Hindu dalam konteks ke-Indonesiaan
Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman". Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan "Vaprakeswara".
Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.
Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu"
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: "Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.
Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.

RINGKASAN AGAMA HINDU

Shruti (primer suci): Veda | Upanishad | Bhagavad Gita | Itihasa (Ramayana & Mahabharata) | Agamas
Smrti (teks-teks lain): Tantra | Sutra | Purana | Brahma Sutras | Hatha Yoga Pradipika | Smritis | Tirukural | Yoga Sutra
Konsep: Avatar | Brahman | Kosas | Dharma | Karma | moksha | Maya | Ishta-Deva | Murti | Reinkarnasi | samsara | Trimurti | Turiya | Guru-tradisi shishya
Sekolah & sistem: Sekolah Hindu | Dini Hindu | Samkhya | Nyaya | Vaisiseka | Yoga | Mimamsa | Vedanta | Tantra | Bhakti | Carvakas
Praktek-praktek tradisional: Jyotish | Ayurveda
Ritual: Aarti | Bhajans | Darshan | Diksha | Mantras | Puja | Satsang | Stotras | Pernikahan | Hayagriwa
Guru dan orang-orang kudus: Shankara | Ramanuja | Madhvacharya | Madhavacharya | Ramakrishna | Vivekananda | Sree Narayana Guru | Aurobindo | Ramana Maharshi | Sivananda | Chinmayananda | Sivaya Subramuniyaswami | Swaminarayan | AC Bhaktivedanta Swami Prabhupada
Denominasi: Vaishnavism | Shaivism | Shaktism | Smarta | Agama Hindu Dharma | Kontemporer gerakan Hindu | Survei organisasi Hindu
Dewa-Dewi Hindu: Daftar Dewa-Dewi Hindu | Mitologi Hindu
Yugas: Satya Yuga | Treta Yuga | Dwapar Yuga | Kali Yuga
Kasta: Brahmana | Kesatria | Waisya | Shudra



DAFTAR PUSTAKA
• Arifin, H.M. Menguak misteri ajaran agama-agama besar. Golden Terayon Press
• 1997.
• www.wikipedia.org
• www.google.com/agama hindu
• www.indoforum.com
• Al-Adyan, versi Arab.

*Mohon dikoreksi bila ada kesalahan dalam tulisan ini. Terima kasih

Agama Hindu*

Sejarah Agama Hindu
Agama Hindu adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran. Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM bersamaan dengan masuknya suku bangsa Arya (Indo German) ke India Utara. Mereka mula-mula menduduki daerah sungai Indus, yang kemudian bercampur dengan penduduk asli yang terdiri dari suku bangsa Dravida dan lainnya yang mendiami bagian India Utara. Pertemuan dua suku bangsa ini membawa pengaruh sinkretisme yang akhirnya membentuk Agama Hindu.
Bentuk sinkretisme dalam agama Hindu dapat ditelusuri dari kebudayaan yang di bawa suku Arya dan suku Dravida. Bentuk kepercayaan dewa-dewa alam adalah kepercayaan suku Arya yang dipengaruhi banyak oleh kebudayaan Yunani. Sedangkan kepercayaan suku asli India Utara banyak tertuang dalam bentuk hal-hal gaib yang berbentuk animisme, dynamisme, serta fetisyisme.
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa Hindu berasal dari India. Hindu merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 milyar jiwa.
Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak benua India. Di sini terdapat sekitar 90% penganut agama ini. Agama ini pernah tersebar di Asia Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa keruntuhan Majapahit. Mulai saat itu agama ini digantikan oleh agama Islam dan juga Kristen. Pada masa sekarang, mayoritas pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali, selain itu juga yang tersebar di pulau Jawa, Lombok, Kalimantan (Suku Dayak Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis - Sidrap).
Konsep Ketuhanan
Salah satu bentuk penerapan monoteisme Hindu di Indonesia adalah konsep Padmasana, sebuah tempat sembahyang Hindu untuk memuja Brahman atau "Tuhan Sang Penguasa".
Agama Hindu merupakan agama tertua di dunia dan rentang sejarahnya yang panjang menunjukkan bahwa agama Hindu telah melewati segala paham ketuhanan yang pernah ada di dunia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh para sarjana, dalam tubuh Agama Hindu terdapat beberapa konsep ketuhanan, antara lain henoteisme, panteisme, monisme, monoteisme, politeisme, dan bahkan ateisme. Konsep ketuhanan yang paling banyak dipakai adalah monoteisme (terutama dalam Weda, Agama Hindu Dharma dan Adwaita Wedanta), sedangkan konsep lainnya (ateisme, panteisme, henoteisme, monoisme, politeisme) kurang diketahui. Sebenarnya konsep ketuhanan yang jamak tidak diakui oleh umat Hindu pada umumnya karena berdasarkan pengamatan para sarjana yang meneliti agama Hindu tidak secara menyeluruh.
Namun, walaupun begitu masih ada pendapat lain yang menerangkan bahwa dalam ajaran Hindu secara pokok-pokoknya dapat diketahui bahwa agama Hindu menganut konsepsi ketuhanan yang bersifat polytheistis yang dimanifestasikan dalam jumlah dewa-dewa yang disebutkan dalam dalam kitab-kitab Wedha sebanyak 32 orang dewa. Namun pada intinya tetap bahwa dewa-dewa tersebut berfungsi sebagai tokoh simbolis dari satu dewa pokok ( Tuhan ) yaitu Brahma. Dan perlu diketahui bahwa sesungguhnya masyarakat di Bali hanya memuja satu Tuhan yg disebut “IDA SANG HYANG WIDI WASA”, tetapi biasanya mereka mempunyai sebutan atau nama-nama tuhan berdasarkan fungsiNya masing-masing, maka muncullah nama dewa-dewa yang berbeda.
Dalam perjalanannya konsep ketuhanan, Hindu mengalami perkembangan sejalan dengan kehendak/kebutuhan masyarakat yang akhirnya muncul aliran Vedanta yang perpaham Trimurti dengan memunculkan 3 nama dewa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Tidak hanya itu, jumlah dewa pun juga bertambah dengan bertambahnya dengan bertambahnya umur agama Hindu dan semakin banyaknya muncul aliran-aliran atau sekte-sekte dalam agama ini.


Kitab suci yang dipegang
Ajaran agama dalam Hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra suci keagamaan yang disusun dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad, yang mana di dalamnya memuat nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma. Di antara susastra suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua dan lengkap yang ditulis secara bertahap yaitu :
1. Reg Wedha, berisi kumpulan nyanyian-nyanyian suci untuk pemujaan dewa-dewa yang disebut Samhita.
2. Yajur Wedha, berisi rumus-rumus upacara kurban
3. Sama Wedha, berisi melodi-melodi atau hymne-hymne yang dinyanyikan oleh pendeta-pendeta yang bertugas dalam upacara pemujaan dan kurban.
4. Atharwa Wedha, berisi rumusan mantra-mantra yang mengandung kekuatan ghaib yang baik dan jahat.
Keempat kitab tersebut disebut "Caturweda Samhita". Selain keempat Weda tersebut, Selain kitab-kitab Wedha ada Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu adalah Tantra, Agama dan Purana serta kedua Itihasa (epos), yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut sebagai ringkasan dari Weda.
Hindu meliputi banyak aspek keagamaan, tradisi, tuntunan hidup, serta aliran/sekte. Umat Hindu meyakini akan kekuasaan Yang Maha Esa, yang disebut dengan Brahman dan memuja Brahma, Wisnu atau Siwa sebagai perwujudan Brahman dalam menjalankan fungsi sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta.
Secara umum, pustaka suci Hindu dibagi menjadi dua kelompok , yaitu kelompok kitab Sruti dan kelompok kitab Smerti.
• Sruti berarti "yang didengar" atau wahyu. Yang tergolong kitab Sruti adalah kitab-kitab yang ditulis berdasarkan wahyu Tuhan, seperti misalnya Weda, Upanishad, dan Bhagawadgita. Dalam perkembangannya, Weda dan Upanishad terbagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil, seperti misalnya Regweda dan Upanishad. Kitab Weda berjumlah empat bagian sedangkan kitab Upanishad berjumlah sekitar 108 buah.
• Smerti berarti "yang diingat" atau tradisi. Yang tergolong kitab Smerti adalah kitab-kitab yang tidak memuat wahyu Tuhan, melainkan kitab yang ditulis berdasarkan pemikiran dan renungan manusia, seperti misalnya kitab tentang ilmu astronomi, ekonomi, politik, kepemimpinan, tata penjabaran moral yang terdapat dalam kitab Sruti.
Ritual Ibadah
Menurut G.A Wilkens : “Dasar upacara kurban adalah pemujaan dewa-dewa, roh nenek moyang dan makhluk-makhluk halus yang menempati semesta alam untuk menghindari kemarahannya serta memberi kepuasan pada mereka sehingga mereka mau memberi bantuan kepada manusia”.
Upacara-upacara yang ditetapkan dalam kitab-kitab pedoman agama Hindu yaitu kitab Sutra sebaga tafsir dari kitab Brahmana yang terdiri dari 2 macam kitab sebagai berikut :
1. Srautra sutra : berisi petunjuk-petunjuk upacara kurban yang wajib dikerjakan oleh raja-raja yang dibagi menjadi 3 macam :
a. Raja Surya adalah upacara dalam pelantikan raja naik tahta.
b. Aswaweda adalah kurban kuda yang harus dilakukan sekali setahun.
c. Purushaweda adalah kurban manusia yang diberikan kepada raja, upacara ini sudah dihapuskan.
2. Gerha sutra : berisi tatacara kurban untuk setiap keluarga yang terdiri dari :
a. Nitya yaitu kurban yang wajib dilakukan setiap hari oleh kepala keluarga terhadap roh-roh nenek moyang.
b. Naimittika adalah kurban yang hanya dilakukan sekali seumur hidup yaitu ketika kelahiran, pemberian nama, dan lain-lain.
c. Upanayana adalah upacara memasuki kasta dengan pemberian upavita (tali kasta) pada umur 8 – 12 tahun.
Dari segi nilai kurban-kurban tersebut dapat dibagi lagi menjadi 2 jenis upacara yaitu :
1. Yaynya besar adalah kurban-kurban yang terdiri dari 2 macam :
a. Somayajna adalah kurban yang dilakukan oleh raja-raja sebagai yang diberikan petunjuknya dalam Srautra sutra
b. Haviryajna adalah kurban-kurban yang terdiri daripada upacara penghormatan pada masa memetik buah yang pertama kali. Kurban yang disajikan berupa ternak, barang-barang berharga, uang dan lain-lain.
2. Yaynya kecil upacara yang tergolong dalam Gerhasutra
Kehidupan setelah Mati
Kepercayaan dalam Hindu bahwa orang yang telah meninggal dunia rohnya tidak lenyap begitu saja, tetapi tetap hidup mengembara di alam lain. Maka dari itu, roh-roh tersebut senantiasa harus diberi saji-sajian antara lain berupa makanan. Saji-sajian itu diberikan pada saat tertentu setiap hari setelah pembakaran mayat sampai keturunan yang ke enam dari orang yang telah meninggal dunia.
Dalam hal ini, C. Hupe mengatakan “ kepercayaan kepada roh-roh halus atau hal-hal gaib termasuk “bijgeloef” (kepercayaan tambahan) sedangkan upacara untuk dewa-dewa termasuk goddienst atau ibadah pokok.
Fungsi dari saji-sajian kepada roh-roh adalah untuk mengantarkan mereka bersatu dengan roh-roh nenek moyang yang meninggal jauh sebelumnya. Karena agama Hindu percaya bahwa roh yang belum berkumpul dengan roh-roh nenek moyang maka roh tersebut belum dalam keadaan tenang dan masih berbentuk preta yang sering mendatangkan gangguan kepada keluarga yang bersangkutan.
Berhubungan dengan kematian, menurut kepercayaan agama Hindu harus diadakan upacara-upacara tertentu dibawah pimpinan pendeta, sepert apa yang dilakukan masyarakat Hindu Dharma di Bali diadakan pembakaran mayat “NGABEN” yang upacara ini termasuk upacara yang sangat mewah, sedangkan Hindu India, upacara pembakaran mayat dilakukan sederhana yaitu setelah mayat dibakar kemudian abu dari mayat tersebut ditebarkan di sungai Gangga atau tulang-tulangnya dikumpulkan dan kemudian disimpan dalam belanga.
Dalam upacara kematian inilah tampak pentingnya Dewa Agni sebagai penolong roh-roh orang yang telah meninggal, karena tanpa adanya api pembakaran jasad mayat berarti roh tidak akan mengalami kebebasan dari alam materi ini yang berarti sebuah penderitaan hidup.
Waktu dan Tempat yang disucikan
Sebagai agama yang muncul dari sinkretesisme budaya suku Arya yang berkeyakinan dengan bentuk dewa-dewa sebagai perwujudan tuhan dan Dravida yang banyak percaya dengan di India utara, maka banyaklah muncul hari-hari yang disucikan sebagai bentuk penghormatan terhadap dewa-dewa yang diisi dengan upacara-upacara keagamaan serta pensucian dari tempat-tempat seperti pohon besar, tempat ibadah, pura sebagai tempat tinggal dari roh-roh nenek moyang leluhur mereka.
Kepercayaan Hindu ini membawanya terlihat agama paling sibuk dengan kegiatan keagamaan karena hampir setiap hari ada pemujaan dewa atau pun saji-sajian bagi leluhur di tempat-tempat yang mereka sucikan.
Nabi atau orang yang dihormati
Weda merupakan kitab suci yang menjadi sumber segala ajaran agama Hindu. Weda merupakan kitab suci tertua di dunia karena umurnya setua umur agama Hindu. Weda berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata vid yang berarti "tahu". Kata Weda berarti "pengetahuan". Para nabi yang menerima wahyu Weda jumlahnya sangat banyak, namun yang terkenal hanya tujuh saja yang disebut Saptaresi . Ketujuh nabi tersebut yakni:
1. Resi Gritsamada
2. Resi Wasista
3. Resi Atri
4. Resi Wiswamitra
5. Resi Wamadewa
6. Resi Bharadwaja
7. Resi Kanwa
Ayat-ayat yang diturunkan oleh Tuhan kepada nabi-nabi tersebut tidak terjadi pada suatu zaman yang sama dan tidak diturunkan di wilayah yang sama. Resi yang menerima wahyu juga tidak hidup pada masa yang sama dan tidak berada di wilayah yang sama dengan resi lainnya, sehingga ribuan ayat-ayat tersebut tersebar di seluruh wilayah India dari zaman ke zaman, tidak pada suatu zaman saja. Agar ayat-ayat tersebut dapat dipelajari oleh generasi seterusnya, maka disusunlah ayat-ayat tersebut secara sistematis ke dalam sebuah buku. Usaha penyusunan ayat-ayat tersebut dilakukan oleh Bagawan Byasa atau Krishna Dwaipayana Wyasa dengan dibantu oleh empat muridnya, yaitu: Bagawan Pulaha, Bagawan Jaimini, Bagawan Wesampayana, dan Bagawan Sumantu.
Hari-hari besar
Di India seperti halnya umat Hindu di Indonesia mengenal banyak hari-hari besar keagamaan atau hari raya yang seluruhnya dapat dibedakan menjadi tiga 3 kelompok , yaitu : Pertama, hari-hari pesta keagamaan (festivals) yang dilakukan dengan meriah, seperti Chitrra Purinima, Durgapuja atau Navaratri, Dipavali, Gayatri Japa, Guru Purnima. Holi , Makara Sankranti, Raksabandha, Vasanta Panchami dan lain-lain. Kedua, adalah hari peringatan kelahiran tokoh-tokoh suci yang disebut Jayanti atau Janmasthani seperti Ganesa Caturti, Gita Jayanti, Valmiki Jayanti, Hanuman Jayanti, Krisna Janmasthani, Sankara Jayanti, Ramanavami dan lain-lain dan ketiga adalah hari untuk melaksanakan Brata(Vrata) atau Upavasa(Puasa) misalnya Sivaratri, Satyanarayana Vrata, Vara Laksmi Vrata, Ekadasi dan lain-lain.
Hari raya keagamaan bagi pemeluk agama Hindu Dharma mayoritas di Indonesia, umumnya dihitung berdasarkan wewaran dan pawukon. Kombinasi antara Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Namun ada pula Hari raya yang menggunakan penanggalan Saka.
Hari Raya Berdasarkan Wewaran
• Galungan — Jatuh pada hari: Buda, Kliwon, Dungulan
• Kuningan — Jatuh pada: Saniscara, Kliwon, Kuningan
• Saraswati — Jatuh pada: Saniscara, Umanis, Watugunung. Hari Ilmu Pengetahuan, pemujaan pada Sang Hyang Aji Saraswati.
• Banyupinaruh — Jatuh pada: Redite, Pahing, Shinta
• Pagerwesi
Hari Raya Berdasarkan Kalender Saka
• Siwaratri
• Nyepi
Perkembangan Kontemporer
Sejarah mencatat bahwa agama Hindu pernah mencapai masa kejayaannya. Baik itu di dunia maupun masa kejayaan Hindu di Nusantara pada masa kerajaan Majapahit. Sisa-sisa kejayaan itu masih bisa kita temui sampai sekarang dan bahkan dilestarikan sebagai kekayaan budaya Indonesia bahkan dunia.
Namun jika kita lihat sekarang di Indonesia bahkan di dunia persebaran Hindu terbatas pada domisili-domisili tertentu, seperti halnya di Indonesia Hindu mayoritas dianut oleh mayoritas masyarakat Bali, begitu pula di luar Indonesia persebaran hanya di sebagian besar kawasan India sebagai tempat kelahiran agama Hindu.
Kemunduran Hindu akhir-akhir ini banyak dipengaruhi oleh beberapa hal yang berasal dari internal Hindu, maupun eksternal, antara lain adalah sebagai berikut :
a. Internal
1. Adanya perbedaan penafsiran kitab-kitab weda oleh elite agama yang berbeda
2. Adanya paham kasta yang membatasi pergaulan antar umat beragama, walaupun sudah diketahui bahwa ajaran kasta ini tidak ditemukan di setiap kitab suci umat Hindu
3. Kepercayaan terhadap hal-hal ghaib yang sudah dianggap sebagai kepercayaan kuno atau bisa disebut tidak rasional.
4. Sistem dakwah Hindu tidak kegencar yang dilakukan oleh agama-agama lain di dunia. Karena Hindu tidak memaksakan kepercayaan yang dianutnya untuk dianut oleh orang lain. Sehingga jarang ditemukan bentuk-bentuk dakwah inovatif di kalangan umat Hindu.
b. Eksternal
1. Masalah Ekonomi
a) Pura tempat yang disucikan banyak dikomersialisasikan
b) Tradisi yang mulai berubah karena desakan ekonomi
2. Munculnya Agama-agama lain
a) Munculnya Islam di tanah jawa telah mengakibatkan kerajaan Hindu Jawa mengalami kemunduran.
b) Proses kristenisasi memasuki ranah agama Hindu.
Hal-hal diatas menunjukkan beberapa penyebab yang berakibat pada menurunnya kuantitas pemeluk agama Hindu di Indonesia, dan bahkan di dunia. Hal ini diperparah dengan ulah para penganut Hindu dengan membuat sekte-sekte yang jumlahnya sampai sekarang belum bisa dideteksi secara ilmiah. Diantara sekte-sekte tersebut adalah :
1. Sekte Vedanta dengan konsep Objek pemujaan adalah Brahman (Tuhan) sedangkan subjek adalah Atman (manusia), Brahman dan Atman terpisah oleh samsara. Ketika manusia masih terikat dengan materi dan jasmani maka mereka akan mengalami samsara (penderitaan).
2. Sekte Sankya berpaham Ahteistis. Berpendapat segala yang maujud terdiri dari Purusha dan Pakerti, segala penderitaan akan hilang ketika Pakerti terlepas dari Pususha.
3. Aliran Yoga, aliran ini mementingkan metode untuk mencapai tujuan. Dari pada itu maka dalam aliran ini diajarkan latihan-latihan kejiwaan dalam usaha melepaskan diri dari samsara.
4. Sekte Jainisme. Inti ajarannya adalah mendapatkan kebahagiaan abadi. Dan salah satu caranya adalah dengan melepaskan diri dari kungkungan materi.
5. Sekte Wisnuisme
6. Sekte Siwaisme
7. Sekte Brahmaisme
8. Sekte Tantrisme
9. Agama Hindu Bali (Hindu Dharma)
Ajaran agama Hindu Dharma sangat terlihat merupakan hasil sinkretisme antara paham animism setempat dengan Hinduisme India dan antara Siwaisme dan Budhisme yang telah mengalami proses rohaniyah typis Jawa. Prinsip Hinduisme-Budhisme masih tetap di pertahankan dalam agama ini sehingga dewa-dewa yang dipuja pun berpusat pada Trimurti atau Trisakti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Masih ada lagi dewa-dewa lain yang muncul dari paham Hinduisme-Budhisme missal dewa Ganesha, Kama dan Ratih, Bregu, Skanda, Kuwera, dan Bayu.;
Ada 3 bentuk macam upacara kurban dalam Hindu Dharma:
a) Tawur Agung, korban yang dilaksanakan setahun sekali
b) Tawur Panca Wali Krama, korban yang dilakukan 10 tahun sekali.
c) Tawur Ekadasa Rudra yaitu korban yang diadakan setiap 100 tahun sekali.
Tujuan dari Tawur adalah mengadakan instrospeksi terhadap segala perbuatan rakyat Bali yang dalam tingkah laku tak lupusa dari kesalahan, pengharapan prospeksi untuk memperoleh keselamatan hidup di bawah perlingdungan dewa Siwa.
Dalam konsep ketuhanan dalam Hindu Dharma tidak boleh disebut bahwa Hindu Dharma berpaham polytheisme namun sebaliknya Hindu Dharma berpaham monotheisme sesuai dengan yang disebut dalam kita Wedha yang berbunyi “Ekam Eva Adwityam Brahman” yang artinya “Hanya Satu tiada duaNya yaitu Brahman”.
Namun meskipun begitu, Tuhan dapat dimanifestasikan dalam bermacam-macam nama menurut sifat-sifat kekuasaan yang ada padaNya.
Dan perlu diketahui bahwa semboyan “Bhineka Tunggal Ika, tan hana Dharma mergwa” berarti “Berbeda-beda tetapi satu, tidak ada Dharma yang lain”.
Hindu Dharma mempunyai 5 keyakinan mutlak :
1. Kepercayaan kepada Syang Hyang Widhi
2. Kepercayaan terhadap atma (roh leluhur)
3. Kepercayaan dengan hokum karma phala
4. Kepercayaan terhadap samsara
5. Kepercayaan terhadap Mokhsa
Agama Hindu dalam konteks ke-Indonesiaan
Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman". Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan "Vaprakeswara".
Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.
Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu"
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: "Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.
Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.

RINGKASAN AGAMA HINDU

Shruti (primer suci): Veda | Upanishad | Bhagavad Gita | Itihasa (Ramayana & Mahabharata) | Agamas
Smrti (teks-teks lain): Tantra | Sutra | Purana | Brahma Sutras | Hatha Yoga Pradipika | Smritis | Tirukural | Yoga Sutra
Konsep: Avatar | Brahman | Kosas | Dharma | Karma | moksha | Maya | Ishta-Deva | Murti | Reinkarnasi | samsara | Trimurti | Turiya | Guru-tradisi shishya
Sekolah & sistem: Sekolah Hindu | Dini Hindu | Samkhya | Nyaya | Vaisiseka | Yoga | Mimamsa | Vedanta | Tantra | Bhakti | Carvakas
Praktek-praktek tradisional: Jyotish | Ayurveda
Ritual: Aarti | Bhajans | Darshan | Diksha | Mantras | Puja | Satsang | Stotras | Pernikahan | Hayagriwa
Guru dan orang-orang kudus: Shankara | Ramanuja | Madhvacharya | Madhavacharya | Ramakrishna | Vivekananda | Sree Narayana Guru | Aurobindo | Ramana Maharshi | Sivananda | Chinmayananda | Sivaya Subramuniyaswami | Swaminarayan | AC Bhaktivedanta Swami Prabhupada
Denominasi: Vaishnavism | Shaivism | Shaktism | Smarta | Agama Hindu Dharma | Kontemporer gerakan Hindu | Survei organisasi Hindu
Dewa-Dewi Hindu: Daftar Dewa-Dewi Hindu | Mitologi Hindu
Yugas: Satya Yuga | Treta Yuga | Dwapar Yuga | Kali Yuga
Kasta: Brahmana | Kesatria | Waisya | Shudra



DAFTAR PUSTAKA
• Arifin, H.M. Menguak misteri ajaran agama-agama besar. Golden Terayon Press
• 1997.
• www.wikipedia.org
• www.google.com/agama hindu
• www.indoforum.com
• Al-Adyan, versi Arab.

*Mohon dikoreksi bila ada kesalahan dalam tulisan ini. Terima kasih