Jumat, 29 Januari 2010

Sistem Pemerintahan Pascaamandemen

A. Latar Belakang Masalah

Adanya setidakstabilan kepemerintahan Indonesia pasca amandemen ke 3 & 4 tahun 2001 yang memperjelas arah kepemerintahan Indonesia dengan menganut sistem presidensial telah membuka mata para ahli ketatanegaraan bahwa sistem ini dirasa kurang tepat untuk dijalankan di Indonesia, sebagai korban adalah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla sebagai Kepala Negara dan Kepala Kepemerintahan tidak banyak didukung oleh parlemen sebagai elemen legislator yang berakibat pada nihilnya program-program Presiden sebagai pemegang hak eksekutif, hanya karena presiden terpilih secara langsung dan mendapat dukungan yang kecil dari dalam DPR.

Ini merupakan suatu keprihatinan yang mendalam mengikuti perjalanan kehidupan kenegaraan bangsa Indonesia setelah MPR-RI dalam waktu 4 tahun sejak 1999 - 2001 telah mengadakan perubahan mendasar terhadap Undang Undang Dasar 1945. Masalah Sistem Pemerintahan Negara penting untuk dikaji ulang karena selama ini pemahaman praktisi dan teoritisi Indonesia tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang melandasi perubahan UUD 1945 terlalu didorong oleh semangat untuk menjungkirbalikkan Orde Baru dengan seluruh tatanannya dan sistemnya, tetapi kurang didukung oleh pengetahuan konseptual tentang sistem pemerintahan negara.

Sebagai warga negara kita menyaksikan dan merasakan berbagai perkembangan yang menghawatirkan dalam kehidupan kenegaraan setelah UUD hasil 4 kali amandemen dilaksanakan. Kekuasaan legislatif yang “too strong“ ternyata telah berkembang menjadi salah satu faktor penyebab lambannya pelaksanaan berbagai kebijakan dan program eksekutif yang pernah dijanjikan selama masa kampanye Calon Presiden dan Wakil Presiden.

Akibanya Presiden dan Wakil Presiden harus mengakomodasi kemauan DPR yang bisa saja memperlambat geraknya. Political gridlock atau kebuntuan politik seperti yang kita alami sekarang ini telah menjadi pertimbangan utama para Bapak Bangsa sehingga pada Rapat Badan Penyelidik Untuk Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 14 Juli 1945 ditetapkan Negara Republik Indonesia tidak akan menggunakan Sistem Parlementer dan Sistem Presidensial karena masing-masng mengandung kelemahan dan kekurangan. Pada Sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 dengan pokok pembahasan Undang-Undang Dasar, Dr. Soekiman memprediksikan kalau Sistem Presidensial diterapkan dalam konteks politik multi partai, stabiliteit pemerintahan akan tidak tercapai apabila Presiden terpilih berasal dari partai minoritas sedangkan DPR dikuasai oleh partai mayoritas. Agar kondisi seperti itu tidak terjadi dalam penyelenggaraan Negara Republik Indonesia, beliau mengusulkan agar Indonesia menerapkan susunan pemerintahan ”sistem sendiri”.

Sebagai bangsa, kita nampaknya harus terus mencari sosok Sistem Pemerintahan Negara yang mampu menciptakan stabilitas politik yang diperlukan sebagai Landasan pembangunan nasional. Agar tercipta sebuah pembangunan yang terus menerus demi tercapainya Negara yang makmur.

B. Pokok Bahasan

Sistem pemerintahan Bangsa Indonesia telah terkatung-katung sejak berdirinya, karena banyak terjadi penyelewengan dalam sistem yang dianutnya. Entah presidential ataukah parlementer pernah dicoba di Indonesia. Tapi, sistem-sistem ini belum memberikan jalan yang terang untuk terciptanya Republik Indonesia yang sejahtera.

Sistem presidential telah dipakai sejak orde baru yang dikuasai oleh Presiden kedua Indonesia Soeharto, dan terbukti telah banyak hal-hal yang tidak sesuai dengan alam kekeluargaan Indonesia, karena badan eksekutif mempunyai kekuatan yang absolute untuk menentukan arah kebijakan pemerintahan Indonesia saat itu. Berbalik dengan ketika digulirkannya reformasi, masa reformasi telah mengadakan amandemen terhadap UUD 1945. Walhasil, karena amandemen tersebut disebabkan oleh ketidakpuasan pihak legislatif dengan masa orde baru, amandemen yang dilakukan banyak mempersempit ruang gerak badan eksekutif tetapi ruang gerak anggota legislatif tak lagi banyak dibatasi sehingga ruang gerak yang amat luas bagi legislatif banyak disalah artikan dengan beberapa penyelewengan kewenangan seperti suap-menyuap dalam pengesahan RUU ataupun anggaran belanja. Sehingga terjadi banyak kasus korupsi yang menjangkiti anggota legislatif.

C. Tujuan dan Guna

Hal – hal yang berhubungan dengan adanya ketidakstabilan pemerintahan telah mengusik kehidupan bernegara. Karena walaupun sudah terbentuk adanya koalisi ternyata koalisi tersebut bisa dikatakan dengan koalisi yang semu, itu disebabkan partai-partai pendukung pemerintah yang berada di legislatif pun masih mengkritisi kinerja badan eksekutif dalam berbagai program kerjanya. Inilah yang mendorong penulis untuk menganalisa sistem pemerintahan presidential yang berjalan di Indonesia. Untuk kembali menggali sudah sesuaikah sistem pemerintahan tersebut dengan alam Indonesia yang multi partai seperti saat ini. Sehingga nantinya bisa menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan sistem pemerintahan yang tepat bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Apakah sistem presidential ini akan digantikan dengan sistem parlementer atau akankah tercipta ”sistem pemerintahan sendiri” yang lebih cocok dan terlepas dari sistem presidential ataupun parlementer yang sama-sama mempunyai kekurangan. Seperti yang telah dicanangkan oleh para peserta rapat BPUPKI dalam merumuskan sistem pemerintahan Republik Indonesia.

D. Telaah Pustaka

  1. Sistem parlementer

Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya.

Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung atau tidak langsung cabang legislatif, atau parlemen, sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif, menuju kritikan dari beberapa yang merasa kurangnya pemeriksaan dan keseimbangan yang ditemukan dalam sebuah republik kepresidenan.

Sistem parlemen dipuji, dibanding dengan sistem presidensial, karena kefleksibilitasannya dan tanggapannya kepada publik. Kekurangannya adalah dia sering mengarah ke pemerintahan yang kurang stabil.

  1. Sistem presidensial

Sistem presidensial atau disebut juga dengan sistem kongresional, merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif.

Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensial terdiri dari 3 unsur yaitu:

· Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.

· Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.

· Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.

Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya.

Ciri-ciri pemerintahan presidensial yaitu:

· Dikepalai oleh seorang presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.

· Kekuasan eksekutif presiden diangkat berdasarkan demokrasi rakyat dan dipilih langsung oleh mereka atau melalui badan perwakilan rakyat.

· Presiden memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen.

· Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasan eksekutif presiden bukan kepada kekuasaan legislatif.

· Presiden tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.

  1. Sistem Semipresidensial

Semipresidensial adalah sistem pemerintahan yang menggabungkan kedua sistem pemerintahan: presidensial dan parlementer. Terkadang, sistem ini juga disebut dengan Dualisme Eksekutif. Dalam sistem ini, presiden dipilih oleh rakyat sehingga memiliki kekuasaan yang kuat. Presiden melaksanakan kekuasaan bersama-sama dengan perdana menteri.

  1. Sistem yang dianut di Indonesia

- Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasar UUD 1945 sebelum diamandemen.

Sistem pemerintahan ini tertuang dalam penjelasan UUD 1945 tentang 7 kunci pokok sistem pemerintahan. Yaitu :

· Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).

· Sistem Konstitusional.

· Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.

· Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah MPR.

· Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.

· Menteri Negara adalah pembantu presiden, dan tidak bertanggung jawab terhadap DPR.

· Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Berdasarkan tujuh kunci pokok tersebut, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan presidensial ini adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan.

Pada saat sistem pemerintahan ini, kekuasaan presiden berdasar UUD 1945 adalah sebagai berikut :

· Pemegang kekuasaan legislative.

· Pemegang kekuasaan sebagai kepala pemerintahan.

· Pemegang kekuasaan sebagai kepala Negara.

· Panglima tertinggi dalam kemiliteran.

· Berhak mengangkat & melantik para anggota MPR dari utusan daerah atau golongan.

· Berhak mengangkat para menteri dan pejabat Negara.

· Berhak menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.

· Berhak mengangkat duta dan menerima duta dari Negara lain.

· Berhak memberi gelaran, tanda jasa, dan lain – lain tanda kehormatan.

· Berhak memberi grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi.

Dampak negative yang terjadi dari sistem pemerintahan yang bersifat presidensial ini adalah sebagai berikut :

· Terjadi pemusatan kekuasaan Negara pada satu lembaga, yaitu presiden.

· Peran pengawasan & perwakilan DPR semakin lemah.

· Pejabat – pejabat Negara yang diangkat cenderung dimanfaat untuk loyal dan mendukung kelangsungan kekuasaan presiden.

· Kebijakan yang dibuat cenderung menguntungkan orang – orang yang dekat presiden.

· Menciptakan perilaku KKN.

· Terjadi personifikasi bahwa presiden dianggap Negara.

· Rakyat dibuat makin tidak berdaya, dan tunduk pada presiden.

Dampak positif yang terjadi dari sistem pemerintahan yang bersifat presidensial ini adalah sebagai berikut :

· Presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan.

· Presiden mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid.

· Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti.

· Konflik dan pertentangan antar pejabat Negara dapat dihindari.

- Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasar UUD 1945 pasca amandemen.

Pokok – pokok sistem pemerintahan dalam ini adalah sebagai berikut :

· Bentuk Negara kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. Wilayah Negara terbagi menjadi beberapa provinsi.

· Bentuk pemerintahan adalah Republik.

· Sistem pemerintahan adalah presidensial.

· Presiden adalah kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan.

· Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.

· Parlemen terdiri atas dua (bikameral), yaitu DPR dan DPD.

· Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya.

Sistem pemerintahan ini pada dasarnya masih menganut sistem presidensial. Hal ini terbukti dengan presiden sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Presiden juga berada di luar pengawasan langsung DPR dan tidak bertanggung jawab terhadap parlemen.

Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut :

· Presiden sewaktu – waktu dapat diberhentikan MPR atas usul dan pertimbangan dari DPR.

· Presiden dalam mengangkat pejabat Negara perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR.

· Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR.

· Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang – undang dan hak budget (anggaran).

Dengan demikian, ada perubahan – perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan presiden secara langsung, sistem bicameral, mekanisme check and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.

Indonesia memasuki era reformasi. Dimana bangsa Indonesia ingin dan bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Oleh karena itu perlu disusun pemerintahan berdasarkan konstitusi (konstitusional). Yang bercirikan sebagai berikut :

· Adanya pembatasan kekuasaan ekskutif.

· Jaminan atas hak – hak asasi manusia dan warga Negara.

E. Metodologi

Dalam mencari sistem pemerintahan yang tepat bagi Indonesia perlu diperhatikan hal-hal yang melatarbelakangi penerapan sistem tersebut sehingga diterapkan di Indonesia. Maka dari itu, diperlukan ketelitian dalam menganalisa hal-hal tersebut yang salah satu caranya dengan dengan sifat analisa kritis dari kajian teks yang bermunculan tentang sistem pemerintahan.

Kajian teks harus total, menyelami semangat penulis, mengartikan maksud serta akhirnya mengkritisi pemikiran tersebut sehingga bisa mendapatkan sebuah rumusan yang lebih jelas.

F. Analisis

Sejak awal disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD itu sesungguhnya tidaklah dimaksudkan sebagai undang-undang dasar yang bersifat permanen. Ir. Soekarno yang mengetuai sidang-sidang pengesahan UUD itu dengan tegas menyebutkan bahwa UUD 1945 itu adalah undang-undang dasar sementara, yang dibuat secara “kilat“. ”Nanti”, kata Soekarno, ”jika keadaan telah memungkinkan, kita akan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang akan menyusun undang-undang dasar yang lebih lengkap dan sempurna”. Aturan Tambahan UUD 1945 telah secara implisit menyebutkan bahwa UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 itu, hanya akan berlaku 12 bulan lamanya. Dalam enam bulan sesudah berakhirnya Perang Asia Timur Raya, Presiden sudah harus menyelesaikan tugasnya menyusun segala peraturan dan membentuk lembaga-lembaga negara sebagaimana diatur oleh UUD 1945, termasuk membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam 6 bulan setelah MPR terbentuk, majelis itu sudah harus menyelesaikan tugasnya menyusun undang-undang dasar yang baru.

Namun, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sampai tibanya era reformasi, sebenarnya tidak pernah terjadi perubahan undang-undang dasar. Apa yang terjadi ialah pergantian undang-undang dasar, dari yang satu ke yang lainnya. Istilah yang digunakan ini, dijadikan sebagai acuan dalam perdebatan Badan Pekerja MPR, ketika membahas perubahan UUD 1945 di era reformasi.

UUD 1945 selayaknya diadakan perubahan mengingat latar belakang historis penyusunanannya, maupun tuntutan perkembangan zaman, dan ini bukan merupakan pendapat yang populer di era sebelum reformasi. Pendapat yang dikembangkan pada masa itu ialah UUD 1945 tidak dapat diubah. Kalau ingin diubah harus melalui referendum, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR. Tetapi TAP MPR ini sendiri menyalahi ketentuan Pasal 37 UUD 1945. pendapat yang berpedoman bahwa jika UUD 1945 diamandemen maka negara akan bubar merupakan pendapat yang dapat diragukan, karena di dunia sudah banyak negara yang mengganti konstitusinya tanpa berimbas pada bubarnya negara. Akan tetapi Indonesia ini bisa bubar, jika kita mencabut teks Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Karena Negara kita sudah ada sejak tanggal 17 Agustus 1945, tanpa tergantung kepada UUD 1945 yang baru disahkan sehari kemudian.

Sejak UUD 1945 diberlakukan pada 18 Agustus 1945, konstitusi pertama tersebut telah ditafsirkan secara berbeda-beda oleh pemerintah yang menjalankannya. Antara 1945 sampai 1949 dan antara 1959 sampai 1966, UUD 1945 telah dilaksanakan dengan beberapa modifikasi dalam susunan pimpinan pemerintahan negara. Indonesia pernah menggunakan dual-executive sistem, dengan Presiden sebagai Kepala Negara dan perdana menteri sebagai Kepala Pemerintahan. UUD yang sama pernah ditafsirkan sebagai single-executive sistem, sesuai ketetapan Pasal 4 sampai 15 dan Presiden menjabat sebagai Kepala Negara serta sekaligus Kepala Pemerintahan. Antara 1966 sampai 1998, berlaku sistem pemerintahan untuk negara integralistik dengan konsentrasi kekuasaan amat besar pada Presiden (too stong presidency). Sejak 2002, dengan berlakunya UUD hasil amandemen, berlaku sistem presidensial. Posisi MPR sebagai pemegang kedaulatan negara tertinggi dan sebagai perwujudan dari rakyat dihapus, dan badan legislatif ditetapkan menjadi badan bi-kameral dengan kekuasaan yang lebih besar (strong legislative). Antara 1949 sampai 1959 Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer yang terbukti tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahan yang amat diperlukan untuk pembangunan bangsa, karena dalam waktu 4 tahun terjadi 33 kali pergantian kabinet.

Gerakan reformasi yang diawali di beberapa kampus utama di seluruh Indonesia, adalah upaya untuk mengadakan penataan kembali berbagai aspek kehidupan masyarakat di bidang politik, ekonomi, hukum dan sosial. Karena itu salah satu agenda utama reformasi politik adalah mengadakan amademen terhadap UUD 1945 untuk meningkatkan demokratisasi hubungan politik antara penyelenggara negara dengan rakyat, dan menciptakan distribusi kekuasaan (distribution of power) yang lebih efektif antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menciptakan mekanisme check and balances dalam proses politik.

Dalam Trias Politika ala Indonesia Badan Eksekutif dipegang oleh Presiden, Wakil Presiden dan para pembantunya dalam kementerian baik itu kementerian negara maupun koordinator. Sedangkan Badan Legislatif dipegang penuh oleh Lembaga DPR sehingga pengesahan UU harus melalui rapat berkali-kali di badan ini. Dan Badan Yudikatif dipegang oleh beberapa badan, antara lain, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan badan peradilan dibawahnya dalam tingkat pengadilan negeri maupun pengadilan agama yang mempunyai lapangannya masing-masing.

Namun walau demikian hasil amandemen UUD 1945 telah banyak juga menimbulkan adanya salah arti dalam penafsiran dan adanya tumpang tindih kewenangan terutama dalam badan legislasi sehingga membuat sistem presidential yang diterapkan di Indonesia tak bisa membawa Indonesia kepada arah yang lebih baik dalam masa satu dekade lebih masa reformasi.

Dari sinilah banyak bermunculan berbagai ide dari para ahli tata negara yang mengusulkan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dari mereka yang mengusulkan untuk kembali kepada sistem yang dipakai pada masa orde lama dan orde baru dengan kekuasaan penuh pada Presiden, dengan pertimbangan bahwa Presiden dipilih oleh rakyat dan Presiden bisa melaksanakan program kerja yang mereka tawarkan ketika kampanye Presiden secara lebih terbuka dan tidak terdikte oleh DPR. Belajar dari yang terjadi pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang berasal dari partai minoritas sedangkan DPR dikuasai oleh partai mayoritas yang banyak berposisi sebagai bagian dari oposisi yang mengkritik banyak kebijakan yang ditawarkan dan atau yang dilaksanakan oleh eksekutif. Tetapi mereka yang berpendapat dengan tetapnya harus dilaksanakannya sistem Presidential yang sekarang dijalankan di Indonesia, belajar dari masa orde baru kekuatan Presiden harus dibatasi dengan kekuatan legislatif yang bisa mengatur jalannya pemerintahan, dan kekuatan Eksekutif pun terkontrol dengan kontrol yang maksimal sehingga segala bentuk penyelewengan badan eksekutif pada masa orde baru tidak terjadi lagi.

G. Kesimpulan

Sebetulnya Gerakan Reformasi merupakan momentum yang amat baik bagi MPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan tertinggi untuk mengadakan amendemen UUD 1945 untuk menciptakan sistem pemerintahan negara yang lebih dapat menjamin kehidupan politik yang lebih demokratis. Sayangnya peluang emas tersebut tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bahkan sebaliknya, amandemen UUD telah menghasilkan sistem pemerintahan baru, sistem presidensial, yang menyimpang dari bentuk dan susunan negara kekeluargaan yang merupakan salah satu staats fundamental norm sistem pemerintahan Indonesia.

Tujuan gerakan reformasi 1998 bukannya tercapai, malahan sebaliknya UUD 2002 hasil amandemen bahkan telah menimbulkan kompleksitas baru dalam hubungan eksekutif dan legislative, bila presiden yang dipilih langsung dan mendapat dukungan popular yang besar tidak mampu menjalankan pemerintahannya secara efektif karena tidak mendapat dukungan penuh dari koalisi partai-partai mayoritas di DPR. Political gridlocks semacam itu telah diperkirakan dan karenanya ingin dihindari oleh para perancang UUD 1945, hampir 6 dekade yang lalu, sehingga akhirnya tidak memilih sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan untuk negara Indonesia yang baru merdeka karena mereka mengerti kelemahan yang ada dalam sistem presidensial apabila diterapkan di Indonesia saat itu yang keadaannya tidak jauh berbeda dengan saat ini.

Sedangkan pada tahun antara 1949 sampai 1959 Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer yang terbukti tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahan yang amat diperlukan untuk pembangunan bangsa, karena dalam waktu 4 tahun terjadi 33 kali pergantian kabinet.

Dari hal ini, maka harus ada sebuah rumusan yang tepat untuk terciptanya sistem pemerintahan yang tepat bagi alam Indonesia dengan multi partainya. Dengan mendistribusikan kekuasaan yang selaras dan sesuai dengan tugas legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sehingga pemerintahan bisa berjalan dengan tenang tanpa ada gangguan intern dan atau ekstren pemerintahan. Yaitu dengan mencari Sistem Pemerintahan Negara yang paling sesuai, dalam arti paling mampu menciptakan stabilitas politik yang merupakan prasyarat utama dalam pembangunan sistem pemerintahan negara yang efektif dan mantap asih harus belum berakhir.

Sistem pemerintahan semi-presidential – penggabungan antara sistem presidential dan parlementer - bisa menjadi pilihan, dimana antara legislatif dan eksekutif dimungkinkan tidak terjadi saling menjatuhkan, atau saling menghambat dalam tugas masing-masing.

Presiden adalah eksekutif tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang kembali, serta para menteri adalah pembantu yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden, adalah ciri dari sistem presidensial. Sistem pemerintahan khas Indonesia juga mengandung karakteristik sistem parlementer, diantaranya MPR ditetapkan sebagai locus of power yang memegang supremasi kedaulatan negara tertinggi, seperti halnya Parlemen dalam sistem parlementer. Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR, sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif (legislative councils). Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun undang-undang.

Demikianlah pokok-pokok fikiran para perancang UUD 1945 tentang susunan pemerintahan negara yang dipandang mampu mengatasi ancaman diktarorial partai pada sistem parlementer atau bahaya ”political paralysis” pada sistem presidensial, apabila presiden terpilih tidak didukung oleh partai mayoritas yang menguasai DPR.

H. Saran

Dalam penentuan sistem pemerintahan Indonesia diperlukan kontribusi yang maksimal oleh para ahli tata negara demi mewujudkan sistem pemerintahan yang sesuai dengan alam Indonesia dan terciptanya stabilitas politik dan pemerintahan dalam menggapai sebuah negara yang sejahtera seperti cita-cita bangsa Indonesia.

Sistem apapun yang akan diterapkan di Indonesia harus berorientasi pada penciptaan sebuah pemerintahan yang stabil berjalan sejajar tidak saling menjatuhkan, seperti pemikiran para Bapak Bangsa yang akhirnya bisa merumuskan sebuah ”sistem sendiri” karena mereka memahami alam Indonesia saat itu.


I. Referensi

Chaidir, Ellydar. 2008. Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia. Yogyakarta; Total Media

Effendi, Sofyan. 2005. Materi Dialog (.pdf) : Sistem Pemerintahan adalah Jati Diri Bangsa. Yogyakarta.

Effendi, Sofyan. 2006. Materi Pidato Sambutan Wisuda (.pdf) : Mencari Sistem Pemerintahan Negara. Yogyakarta.

Wikipedia.com. Sistem Pemerintahan.

UUD 1945

Tidak ada komentar:

Posting Komentar