Jumat, 29 Januari 2010

Subjek Hukum dalam Hukum Perdata dan Fiqh Muamalat

SUBJEK HUKUM
Sebagai pelaku dari suatu tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan hokum muamalat, dari sudut hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum dapat diartikan sebagai pengemban hak dan kewajiban. Subjek hukum terdiri dari dua macam yaitu manusia dan badan hukum dalam kaitannya dengan ketentuan dalam hukum Islam.
a. Manusia
Manusia sebagai subjek hukum adalah pihak yang sudah dapat dibebani hukum yang disebut dengan mukallaf. Mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun dalam kehidupan sosial.
Ada tahapan untuk dapat melihat apakah seseorang telah dapat dibebani hukum. Dalam hukum islam, kapasitas hukum seseorang dapat dilihat dari tahapan- tahapan dalam kehidupannya yaitu ;
1. Marhalal al-janin (embryonic stag)
Tahap ini dimulai sejak masa janin sudah berada dalam kandungan hingga lahir dalam keadaan hidup. Janin dapat memperoleh hak, namun mengemban kewajiban hukum .
2. Marhalal al-saba (childhood stag)
Tahap ini dimulai sejak manusia lahir dalam keadaan hidup hingga ia berusia 7(tujuh) tahun. Hak dan kewajiban yang menyangkut harta miliknya dilaksanakan melalui walinya (Guardian).
3. Marhalal al-Tamyiz (Discernment Stag)
Tahap ini dimulai sejak seorang berusia 7 (tujuh) tahun hingga masa pubertas (Aqil-Baligh). Pada tahap ini dapat memperoleh separuh kapasitasnya sebagai subjek hukum (tanpa izin dari walinya). Segala aktivilas/ transaksi, penerimaan hak yang dilakukan oleh anak yang mumayyiz ini adalah sah (valid). Sedangkan transaksi yang mungkin merugikan /mengurangi haknya, ”non-valid” kecuali mendapat izin atau pengesahan dari walinya.
4. Marhalal al-bulugh (stage of puberty)
Pada tahap ini seseorang telah mencapai aqil-Baligh dan dalam keadaan normal ia telah dianggap menjadi Mukallaf. Tanda-tanda fisik ketika seorang perempuan telah datang bulan (haid) dan laki-laki telah mengalami perubahan–perubahan suara dan fisiknya, seseorang yang sudah pada tahap ini disebut ”Ahliyyah Al-ada Al-Kamilah”.
5. Daur al-rushd (Stage of Prudence)
Pada tahap ini kapasitas seseorang telah sempurna sebagai subjek hukum, dikarenakan telah mampu bersikap tindak demi keamanan dalam mengelola dan mengontrol harta dan usaha/bisnisnya dangan bijaksana.
Jadi, dari segi kecakapan untuk melakukan akad, manusia dapat terbagi atas tiga bentuk :
a. Manusia yang tidak dapat melakukan akad apa pun, seperti manusia yang cacat jiwanya, cacat mental dan anak kecil yang belum mumayyiz.
b. Manusia yang dapat melakukan akad tertentu, seperti anak yang sudah mumayyiz, tetati belum mencapai baligh.
c. Manusia yang dapat melakukan seluruh akad, yaitu untuk yang telah memenuhi syarat-syarat mukallaf.
Pada prinsipnya tindakan hukum seseorang akan dianggap sah, kecuali ada halangan-halangan yang dapat dibuktikan, sehingga dapat dinyatakan tidak sah/dapat dibatalkan. Halangan-halangan itu adalah sebagai berikut ;
1. Minors (masih dibawah umur) atau safih.
2. Insanty/Junun (kehilangan kesadaran atau gila).
3. Idiocy/’Atah (Idiot)
4. Prodigality/Safah (Royal, boros)
5. Unconsciousness/Ighma (kehilangan kesadaran).
6. Sleep/Naum (tertidur dalam keadaan tidak gelap).
7. Error/Khata dan Forgetfulnes/Nisyan (kesalahan dan terlupa).
8. Acquired Defects Awarid Mutktasabah (memiliki kekurangan, kerusakan akal/ kehilangan akal).
Selain dilihat dari tahapan kedewasaan seseorang, dalam suatu akad, kondisi psikologis seseorang perlu juga diperhatikan untuk mencapai sahnya suatu akal. Syarat-syarat subjek akad adalah sebagai berikut :
a) Aqil (berakal)
Orang yang bertransaksi haruslah berakal sehat, bukan orang gila, terganggu akalnya, ataupun kurang akalnya karena masih dibawah umur, sehingga dapat mempertanggungjawabkan transaksi yang dibuatnya.
b) Tamyiz (dapat membedakan)
Orang yang bertransaksi haruslah dalam keadaan dapat membedakan yang baik dan yang buruk, sebagai pertanda kesadarannya sewaktu bertransaksi.
c) Mukhtar (bebas dari paksaan)
Hal ini berarti para pihak harus bebas dalam bertransaksi, lepas dari paksaan dan tekanan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai mukallaf adalah sebagi berikut :
1) Baligh. Ukuran baligh seseorang adalah telah bermimpi (ithilam) bagi laki-laki dan telah haid bagi perempuan.
2) Berakal sehat. Seseoarang yang melakukan perbuatan hukum harus memiliki akal yang sehat. Dengan akal sehat, ia akan memahami segala perbuatan hukum yang dilakukan dan akibat hukum terhadap dirinya maupun orang lain.
Selain itu, dalam kaitannya dengan subjek hukum terdapat tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu :
1) Ahliyah (kecakapan), yaitu kecakapan seseorang untuk memiliki hak dan dikenai kewajiban atasnya dan kecakapan melakukan tasharuf. Ahliyah terbagi atas dua macam :
a. Kecakapan untuk memiliki suatu hak kebendaan.
b. Kecakapan bertindak yang sempurna yang terdapat pada aqil baligh dan beakal sehat.
2) Wilayah (kewenangan), yaitu kekuasaan hukum yang pemiliknya dapat ber-tassarruf dan melakukan akad dan menunaikan segala akibat hukum yang ditimbulkan. Syarat seseorang untuk mendapatkan wilayah akad adalah orang yang cakap bertasharuf secara sempurna.
a) Niyabah ashliyah, yaitu seseorang yang mempunyai kecakapan sempurna dan melakukan tindakan hukum untuk kepentingan sendiri.
b) Niyabah al-Syar’iyyah atau wilayah niyabiyah, yaitu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepada pihak lain yang mempunyai kecakapan sempurna untu melakukan tasharuf atas nama orang lain (biasanya disebut dengan wali). Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh wali yang dalam mendapatkan wilayah ini adalah sebagai berikut :
1. mempunyai kecakapan yang sempurna dalam melakukan tasharuf.
2. memiliki agama yang sama (Islam) antara wali dan maula’alaihi (yang diwakili).
3. mempunyai sifat adil, yaitu istiqomah dalam menjalankan ajaran agama dan berakhlak mulia.
4. mempunyai sifat amanah, dapat dipercaya.
5. menjaga kepentingan orang yang ada dalam perwaliannya.
3) Wakalah (perwakilan), yaitu pengalihan kewenangan perihal harta dan perbuatan tertentu dari seseorang kepada orang lain untuk mengambil tindakan tertentu dalam hidupnya.

b. Badan Hukum
Badan hukum adalah badan yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.
Dalam Islam, badan hukum tidak diatur secara khusus. Namun, terlihat pada beberapa dalil menunjukkan adanya badan hukum dengan menggunakan istilah al-syirkah, seperti yang tercantum dalam QS. An –Nisa (12):12, QS. Shaad (38): 24. Badan hukum berbeda dengan dengan manusia sebagai subjek hukum dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Hak-hak badan hukum berbeda dengan hak-hak yang dimiliki manusia, seperti hak berkeluarga, hak pusaka dll.
2. Badan hukum tidak hilang dengan meninggalnya pengurus badan hukum. Badan hukum akan hilang apabila syarat-syaratnya tidak terpenuhi lagi.
3. Badan hukum diperlukan adanya pengakuan hukum.
4. Ruang gerak badan hukum dalam bertindak hukum dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum dan dibatasi dalam bidang-bidang tertentu.
5. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh badan hukum adalah tetap, tidak berkembang.
6. Badan hukum tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, tetapi hanya dapat dijatuhi hukuman perdata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar