Jumat, 29 Januari 2010

Subjek Hukum dalam Hukum Perdata dan Fiqh Muamalat (2)

I. PENDAHULUAN
Permasalahan hukum, dalam setiap pembahasannya tidak pernah terlepas dari subjek hukum, karena dari subjek hukum kita dapat mengetahui hak dan kewajiban dalam hukum, siapa yang melakukan dan melaksanakan perbuatan hukum.
Subjek hukum dalam pembahasan ini tidak hanya dalam pandangan hukum Islam khususnya Fiqh Muamalat, namun sebagai efek dari visi UIN Sunan Kalijaga maka perlu adanya integrasi dan interkoneksi dengan Hukum Positif Indonesia. Dari ini kita akan mengetahui korelasi antara Fiqh Muamalat dan Hukum Positif Indonesia khususnya Kitab Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) sebagai implementasi Fiqh Muamalat di Indonesia.
Bentuk urgenitas pembahasan subjek hukum dalam setiap pembahasan di disiplin ilmu hukum adalah ketika kita mengetahui siapa atau apakah yang termasuk subjek hukum maka kita akan dapat mengidentifikasi benarkah orang ini termasuk subjek hukum?, atau apakah perusahaan ini juga termasuk subjek hukum?.
II. PEMBAHASAN
1) SUBJEK HUKUM POSITIF INDONESIA
Subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah barang tentu bertitik tolak dari sistem hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi).
Manusia (Natuurlijk Persoon) Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak, mulai dari saat dia lahir dan berakhir pada saat ia meninggal. Namun sebagai pengecualian dapat dihitung surut, apabila memang untuk kepentingannya, dimulai ketika orang tersebut masih berada di dalam kandungan ibunya.
Hal ini terdapat pada Pasal 2 KUHPer, bahwa bayi yang masih ada di dalam kandungan ibunya dianggap telah lahir dan menjadi subjek hukum jika kepentingannya menghendaki seperti dalam hal kewarisan. Namun, apabila lahir dalam keadaan meninggal dunia, maka menurut hukum ia dianggap tidak pernah ada, sehingga ia bukan termasuk subjek hukum.
Badan Hukum (Rechts persoon) Suatu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukum dan mempunyai tujuan tertentu.
Ciri – ciri Badan Hukum
a. Kekayaan terpisah
b. Organisasi teratur
c. Ada tujuan tertentu
d. Ada pengurus
Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, dapat melakukan perbuatan hukum dalam hal tidak dinyatakan taflis/pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Badan hukum berbeda dengan dengan manusia sebagai subjek hukum dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Hak-hak badan hukum berbeda dengan hak-hak yang dimiliki manusia, seperti hak berkeluarga, hak pusaka dll.
2. Badan hukum tidak hilang dengan meninggalnya pengurus badan hukum. Badan hukum akan hilang apabila syarat-syaratnya tidak terpenuhi lagi.
3. Badan hukum diperlukan adanya pengakuan hukum.
4. Ruang gerak badan hukum dalam bertindak hukum dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum dan dibatasi dalam bidang-bidang tertentu.
5. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh badan hukum adalah tetap, tidak berkembang.
6. Badan hukum tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, tetapi hanya dapat dijatuhi hukuman perdata.
2) SUBJEK HUKUM DALAM FIQH MUAMALAT
Dalam hukum Islam subjek hukum disebut sebagai mahkum alaihi, mahkum alaih adalah subjek hukum yaitu mukallaf yang melakukan perbuatan-perbuatan taklif. Jika mahkum fih berbicara mengenai perbuatan mukallaf maka mahkum alaih berbicara mengenai orangnya, karena dialah orang yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak. Pendapat ini adalah pendapat secara umum tentang subjek hokum dalam hokum/ fiqh Islam.
Dalam masalah Fiqh Muamalat, yang disebut sebagai mukallaf atau subjek hukum adalah manusia. Manusia sebagai subjek hukum adalah pihak yang sudah dapat dibebani hukum yang disebut dengan mukallaf. Mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun dalam kehidupan sosial.
Ada tahapan untuk dapat melihat apakah seseorang telah dapat dibebani hukum. Dalam hukum islam, kapasitas hukum seseorang dapat dilihat dari tahapan- tahapan dalam kehidupannya yaitu ;
1. Marhalal al-janin (embryonic stag)
Tahap ini dimulai sejak masa janin sudah berada dalam kandungan hingga lahir dalam keadaan hidup. Janin dapat memperoleh hak, namun belum mengemban kewajiban hukum .
2. Marhalal al-saba (childhood stag)
Tahap ini dimulai sejak manusia lahir dalam keadaan hidup hingga ia berusia 7(tujuh) tahun. Hak dan kewajiban yang menyangkut harta miliknya dilaksanakan melalui walinya (Guardian).
3. Marhalal al-Tamyiz (Discernment Stag)
Tahap ini dimulai sejak seorang berusia 7 (tujuh) tahun hingga masa pubertas (Aqil-Baligh). Pada tahap ini dapat memperoleh separuh kapasitasnya sebagai subjek hukum (tanpa izin dari walinya). Segala aktivilas/ transaksi, penerimaan hak yang dilakukan oleh anak yang mumayyiz ini adalah sah (valid). Sedangkan transaksi yang mungkin merugikan /mengurangi haknya, ”non-valid” kecuali mendapat izin atau pengesahan dari walinya.
4. Marhalal al-bulugh (stage of puberty)
Pada tahap ini seseorang telah mencapai aqil-Baligh dan dalam keadaan normal ia telah dianggap menjadi Mukallaf. Tanda-tanda fisik ketika seorang perempuan telah datang bulan (haid) dan laki-laki telah mengalami perubahan–perubahan suara dan fisiknya, seseorang yang sudah pada tahap ini disebut ”Ahliyyah Al-ada Al-Kamilah”.
5. Daur al-rushd (Stage of Prudence)
Pada tahap ini kapasitas seseorang telah sempurna sebagai subjek hukum, dikarenakan telah mampu bersikap tindak demi keamanan dalam mengelola dan mengontrol harta dan usaha/bisnisnya dangan bijaksana.
Jadi, dari segi kecakapan untuk melakukan akad, manusia dapat terbagi atas tiga bentuk :
a. Manusia yang tidak dapat melakukan akad apa pun, seperti manusia yang cacat jiwanya, cacat mental dan anak kecil yang belum mumayyiz.
b. Manusia yang dapat melakukan akad tertentu, seperti anak yang sudah mumayyiz, tetati belum mencapai baligh.
c. Manusia yang dapat melakukan seluruh akad, yaitu untuk yang telah memenuhi syarat-syarat mukallaf.
Pada prinsipnya tindakan hukum seseorang akan dianggap sah, kecuali ada halangan-halangan yang dapat dibuktikan, sehingga dapat dinyatakan tidak sah/dapat dibatalkan. Halangan-halangan itu adalah sebagai berikut ;
a. Minors (masih dibawah umur) atau safih.
b. Insanty/Junun (kehilangan kesadaran atau gila).
c. Idiocy/’Atah (Idiot)
d. Prodigality/Safah (Royal, boros)
e. Unconsciousness/Ighma (kehilangan kesadaran).
f. Sleep/Naum (tertidur dalam keadaan tidak gelap).
g. Error/Khata dan Forgetfulnes/Nisyan (kesalahan dan terlupa).
h. Acquired Defects Awarid Mutktasabah (memiliki kekurangan, kerusakan akal/ kehilangan akal).
Dalam perspektif ahli-ahli hukum Islam, hukum tidak dibuat, melainkan ditemukan. Inilah yang dikatakan para ulama bahwa fungsi mujtahid itu bukan sebagai Musbit (menetapkan hukum), akan tetapi sebagai Muzhir (mengeluarkan, menyatakan hukum). Hukum bersifat meta-insani dan berada secara obyektif di “luar sana”. Locus hukum itu adalah pada Tuhan. Kegiatan ilmu hukum, karena itu, merupakan upaya untuk mengetahui dan mengenal hukum yang meta-insani itu melalui tanda-tanda hukum („alamah, amarah, dalil) yang diberikan oleh sang Pembuat Hukum (Syari‟), kemudian menghadirkannya ke dunia untuk menjadi acuan penilaian perbuatan manusia sebagai subyek hukum.
Dalam hokum Islam secara eksplisit belum mengenal badan hokum sebagai subjek hokum Dalam Islam, badan hukum tidak diatur secara khusus. Namun, terlihat pada beberapa dalil menunjukkan adanya badan hukum dengan menggunakan istilah al-syirkah, seperti yang tercantum dalam QS. An –Nisa (12):12, QS. Shaad (38): 24.
Maka sebagai tuntunan yang dianut oleh para umat, hokum Islam harus mampun menjawab pertanyaan, apakah badan hokum termasuk sebagai subjek hokum? Sebagai jawabnya, badan hokum sebagai subjek hokum rekaan maka badan hokum bisa dianggap sebagai subjek hokum dalam masalah muamalat karena badan hokum dalam muamalat mampu berbuat hokum yang pertanggungjawabannya dapat dipertanggungjawabkan secara hokum di hadapan manusia, namun untuk hubungan pertanggungjawaban perbuatan hokum dihadapan Allah maka dalam pandangan Islam pertanggungjawaban harus ditanggung oleh tiap individu. Dalam hal ini, badan hokum dipandang sebagai subjek hokum hanya dalam muamalat khususnya dalam perjanjian bisnis bukan dalam ranah ibadah, karena subjek hokum dalam ibadah adalah mukallaf, sedangkan mukallaf dalam ibadah adalah manusia, yang sudah dianggap mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
3) KORELASI SUBJEK HUKUM DALAM HUKUM POSITIF DAN FIQH MUAMALAT
Jika kita kembali memahami uraian di atas maka sebenarnya pandangan tentang subjek hokum dalam hokum positif Indonesia khususnya hokum perdata dengan hokum islam khususnya dalam Fiqh Muamalat maka kita tidak akan mendapatkan banyak perbedaan kecuali dalam beberapa hal yang hubungannya dengan bagaimana seseorang mempertanggungjawabkan perbuatan hukumnya.
Subjek hokum dalam kedua ranah tersebut adalah sama intiny adalah manusia dengan klasifikasi yang harus dipenuhi, dalam teori fiksi hokum yang menyebutkan bahwa bahwa dapat dijadikan sebagai subjek hokum, hokum Islam juga berpendapat seperti itu dengan mengklasifikasikan dalam Ahliyah ghairu Kamilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar