Jumat, 29 Januari 2010

TEORI-TEORI EKSISTENSI HUKUM ISLAM DALAM TATA HUKUM DI INDONESIA

PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia merupakan mayoritas penduduknya beragama Islam. Pada masa awal kedatangnya Islam datang dengan lembut, sehingga mudah diterima sebagai agama baru oleh bangsa Indonesia khususnya penduduk pesisir pantai utara Jawa sebagai salah satu tujuan utama pedagang-pedagang Gujarat.
Dalam perkembangan selanjutnya hukum yang berlaku dalam masyarakat pun mulai bergeser dengan hukum Islam dengan berbagai keunggulannya. Yang sampai pada akhirnya berpengaruh terhadap tata hukum nasional pada masa kependudukan Belanda di Indonesia serta lebih berpengaruh lagi setelah kemerdekaan negara Indonesia.
Banyak pendapat tentang bagaimana hukum Islam ini berpengaruh terhadap tata hukum nasional, apapun pendapatnya itu telah membuktikan bahwa hukum Islam merupakan bagian yang penting dalam tata hukum nasional.
Maka, guna memperjelas bagaimana hukum Islam itu muncul dan bersimbiosis dengan tata hukum nasional, penulis berkeinginan membuka pengetahuan kita semua guna memperdalam tentang teori-teori yang menunjukkan eksistensi hukum Islam dalam tata hukum Indonesia.













PEMBAHASAN
Islam telah diterima oleh bangsa Indonesia jauh sebelum penjajah datang ke Indonesia. Waktu penjajah Belanda datang di Indonesia (Hindia Belanda), mereka menyaksikan kenyataan bahwa di Hindia Belanda sudah ada hukum yang berlaku, yaitu agama yang dianut oleh penduduk Hindia Belanda, seperti hukum Islam, hukum Hindu, Budha, dan Nasrani, disamping hukum adat bangsa Indonesia (adatrecth). Berlakunya hukum Islam bagi sebagian besar penduduk Hindia Belanda, berkaitan dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam setelah runtuhnya kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1518 M. Menurut C. Snouck Hurgronje sendiri, bahwa “pada abad ke 16 di Hindia Belanda sudah muncul kerajaan-kerajaan Islam, seperti Mataram, Banten, dan Cirebon yang berangsur-angsur mengislamkan seluruh penduduknya.
Walaupun pada mulanya kedatangan Belanda (yang beragama Kristen Protestan) ke Hindia Belanda tidak ada kaitannya dengan masalah (hukum) agama, namun pada perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan kepentingan penjajah, akhirnya mereka tidak bisa menghindari terjadinya persentuhan denga masalah hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi. Sehubungan dengan berlakunya hukum adat bagi bangsa Indonesia dan hukum agama bagi masing-masing pemeluknya, muncullah beberapa teori, yang dikenal dengan teori Receptio in Complexu, teori Receptie, teori Receptie Exit dan teori Receptio A Contrario serta teori Eksistensi, yang kedua pertama muncul pada masa sebelum Indonesia merdeka dan tiga teori terakhir muncul setelah Indonesia merdeka.
Dari beberapa macam teori tentang eksistensi hukum Islam maka akan penulis mencoba untuk membuka pengetahuan kita tentang hal tersebut secara terperinci.
1. Teori Receptio in Complexu
Menurut teori Receptio in Complexu bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Bagi orang Islam berlaku hukum Islam, demikian juga berlakunya hukum agama lain bagi pemeluknya. Pioneer pemikiran ini adalah para sarjana Belanda seperti Carel Frederik Winter seorang ahli tertua tentang hal-hal Jawa, juga Salomon Keyzer seorang ahli bahasa dan Ilmu kebudayaan Hindia Belanda. Teori ini kemudian dikemukakan dan diberi nama oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg seorang ahli hukum Islam, politikus, penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk bahasa Timur dan hukum Islam.
Materi teori Receptio in Complexu ini, dimuat dalama pasal 75 RR (regeeringsreglement) tahun 1855. Pasal 75 ayat 3 RR berbunyi : “Oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu”. Jadi pada masa teori ini hukum Islam berlaku bagi orang Islam dengan istilah godsdienstige wetten. Pada masa inilah muncul kebijakan adanya Pengadilan Agama disamping Pengadilan Negeri yang sebelumnya didahului dengan penyusunan kitab yang berisi tentang himpunan hukum Islam.
2. Teori Receptie
Lain halnya dengan teori sebelumnya, teori ini menekankan bahwa hukum Islam tak selamanya berlaku otomatis bagi pemeluk agama Islam. Hukum Islam berlaku ketika sudah diresepsi atau direduksi dalam hukum adat. Jadi yang berlaku bagi kelompok atau umat Islam adalah hukum adat.
Teori ini dikemukakan oleh Cornelis van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje. Cornelis van Vollenhoven adalah seorang ahli hukum adat Indonesia, yang diberi gelar sebagai pendasar dan pencipta, pembuat sistem ilmu hukum adat. Sedangkan Christian Snouck Hurgronje adalah seorang doktor sastra Semit dan ahli dalam bidang hukum Islam.
Penerapan teori Receptie dimuat dalam pasal 134 ayat 2 IS (Indische Staatregeling), yang berbunyi sebagai berikut :
Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam, apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi.
Pemikiran Snouck Hurgronje inilah yang brpengaruh terhadap adanya pemisahan antara agama dan politik. Dimana paham liberal ini muncul karena dia berpendapat bahwa Islam adalah sebuah ancaman, maka perlu untuk dikekang dan dibawah pengawasan yang ketat.
Hal tersebut diatas berakibata kepada pencabutan hak Pengadilan Agama untuk menangani penyelesaian hukum waris pada tahun 1937 dengan stbl 1937 no. 116, dengan alasan bahwa hukum adat belum sepenuhnya menerima apa yang ada dalam hukum Islam tentang pembagian hak waris.
3. Teori Receptie Exit
Semangat para pemimpin Islam menentang pendapat Hurgronje dengan menyandarkan pemberlakuan hukum Islam pada hukum adat terus bergulir terutama pada saat menjelang proklamasi kemerdekaan negara Indonesia. Upaya ini nampak dengan lahirnya Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada tanggal 22 Juni 1945.
Piagam Jakarta merupakan Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar (konstitusi) negara Republik Indonesia yang disusun oleh 9 orang tokoh bangsa Indonesia, sedangkan 8 orang dari mereka adalah Muslim.
Adanya Piagam Jakarta adalah sebuah perjuangan para tokoh-tokoh Islam saat itu yang selalu memperjuangkan berlakunya hukum Islam bagi orang Islam. Menurut Muhammad Yamin, piagam itu merupakan “dokumen politik yang terbukti mempunyai daya penarik dapat mempersatukan gagasan ketatanegaraan dengan tekad bulat atas persatuan nasional menyongsong datangnya negara Indonesia yang merdeka berdaulat”.
Menurut Hazairin, bahwa hukum agama itu bagi rakyat Islam dirasakannya sebagai sebagian dari imannya. Yang kemudian ia memberikan pernyataan sebagai berikut:
Persoalan lain yang sangat mengganggu dan menentang iman orang Islam adalah “teori Receptie” yang diciptakan oleh kolonial Belanda untuk merintangi kemajuan Islam di Indonesia. Menurut teori Receptie itu hukum Islam ansich bukanlah hukum, hukum Islam itu baru boleh diakui sebagai hukum jika hukum Islam itu telah menjadi hukum adat. Tergantunglah kepada kesediaan masyarakat adat penduduk setempat untuk menjadikan hukum Islam yang bukan hukum itu menjadi hukum adat. Teori Receptie, yang telah menjadi darah daging kaum yurist Indonesia yang dididik di zaman Kolonial baik di Jakarta maupun di Leiden, adalah sebenarnya teori Iblis, yang menentang iman orang Islam, menentang Allah, menentang Al-Qur’an, menentang Sunah Rasul.
Jadi menurut Hazairin, teori Receptie, yang menyatakan bahwa hukum Islam baru berlaku bagi orang Islam kalau sudah diterima dan menjadi bagian dari hukum adatnya, adalah teori Iblis dan tidak relevan, yang artinya telah hapus atau harus dinyatakan hapus (keluar) dengan berlakunya UUD 1945. Pemahaman inilah yang dimaksud dengan teori Receptie Exit .
Menurut teori Receptie Exit, pemberlakuan hukum Islam tidak harus didasarkan atau ada ketergantungan dengan hukum adat. Hal ini semakin dipertegas dengan diberlakukannya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang memberlakukan hukum Islam bagi orang Islam, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan juga Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
4. Teori Receptio A Contrario
Dalam perkembangan selanjutnya menurut Sayuti Thalib, ternyata dalam masyarakat telah berkembang yang lebih jauh dari pendapat Hazairin di atas. Di beberapa daerah yang dianggap sangat kuat adatnya, terlihat kecenderungan teori Receptie dari Snouck Hurgronje itu dibalik.
Sebagai contoh masyarakat Aceh, masyarakatnya menghendaki agar soal-soal perkawinan dan soal warisan diatur menurut hukum Islam. Apabila ada ketentuan adat di dalamnya, boleh saja dilakukan atau dipakai, tetapi dengan satu ukuran, yaitu tidak boleh bertentang dengan hukum Islam. Dengan demikian yang ada sekarang adalah kebalikan dari teori Receptie yang diangkat oleh Snouck yaitu hukum adat berlaku dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum Islam. Inilah yang kemudian disebut oleh Sayuti Thalib dengan teori Receptie A Contrario.
5. Teori Eksistensi
Dari dua teori yang muncul setelah masa kemerdekaan Indonesia di atas, maka berkelanjutan dengan munculnya teori Eksistensi.
Teori Eksistensi adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum Nasional Indonesia – hukum positif -. Menurut teori ini bentuk eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional itu ialah : (1) Ada, yang dalam arti hukum Islam berada dalam tata hukum nasional sebagai bagian yang terintegral darinya. (2) Ada, dalam arti lain yaitu kemandiriannya yang diakui berkekuatan hukum nasional dan sebagai hukum nasional, (3) Ada dalam hukum nasional, dalam arti norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia, (4) Ada dalam hukum nasional, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur penting hukum nasional Indonesia.
Berdasarkan teori ini maka keberadaan hukum Islam dalam tata hukum Indonesia merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapt dibantah adanya. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam merupakan bahan utama atau unsur utama hukum nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar